Lewat Deklarasi Beijing, 14 Faksi Palestina Sepakat Bangun Persatuan

Faksi-faksi yang bersaing di Palestina termasuk Fatah dan Hamas telah menandatangani perjanjian yang bertujuan untuk mengakhiri perpecahan mereka dan membangun persatuan setelah pembicaraan di Beijing, menandai kemenangan diplomatik bagi Tiongkok.

Perwakilan senior dari 14 faksi Palestina mencapai kesepakatan – yang disebut Deklarasi Beijing – setelah pembicaraan rekonsiliasi yang dimulai pada hari Minggu.

Pakta tersebut bertujuan untuk menyatukan warga Palestina dalam konflik mereka dengan Israel, yang melancarkan perang terhadap kelompok Perlawanan Hamas di Gaza pada bulan Oktober.

Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan perjanjian tersebut merupakan langkah pertama untuk mempromosikan “gencatan senjata yang komprehensif, tahan lama dan berkelanjutan” di Jalur Gaza yang pada akhirnya akan membuat Palestina diterima di PBB sebagai anggota penuh dan menjadi negara merdeka.

“Deklarasi tersebut menegaskan kembali komitmen untuk mendirikan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem sebagai Ibu Kotanya berdasarkan resolusi PBB yang relevan dan memastikan integritas wilayah Palestina termasuk Tepi Barat, Yerusalem dan Gaza,” kata Juru Bicara Kementerian, Mao Ning.

Menteri Luar Negeri Wang Yi pada hari Selasa mengatakan penandatanganan perjanjian tersebut adalah “momen penting dan bersejarah dalam perjuangan Palestina”.

Dia mengatakan bahwa berdasarkan kesepakatan tersebut, kelompok-kelompok yang bertikai telah sepakat untuk membentuk “pemerintahan rekonsiliasi nasional sementara” untuk memerintah Gaza pascaperang.

Penandatangan termasuk pejabat senior Hamas, Mousa Abu Marzouk dan utusan Fatah, Mahmoud al-Aloul serta utusan dari 12 kelompok Palestina lainnya.

Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan ini adalah pertama kalinya 14 kelompok yang bersaing berkumpul di Beijing untuk melakukan pembicaraan rekonsiliasi, dan duta besar Mesir, Rusia dan Aljazair juga menghadiri pertemuan tersebut.

“Rekonsiliasi adalah masalah internal faksi-faksi Palestina, namun pada saat yang sama tidak dapat dicapai tanpa dukungan komunitas internasional,” kata Wang.

Dia menambahkan bahwa Tiongkok ingin “memainkan peran konstruktif dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah”.

Hamas dan Otoritas Palestina – dua partai politik Palestina yang dominan di wilayah Palestina – telah mengadakan beberapa putaran perundingan persatuan sejak Hamas mengalahkan partai Fatah pimpinan Presiden Mahmoud Abbas dalam pemilihan parlemen pada tahun 2006.

Pada tahun 2007 Hamas menjadi penguasa de facto di Jalur Gaza sementara Fatah memimpin Otoritas Palestina di Tepi Barat yang dikuasai Israel.

Namun upaya rekonsiliasi gagal karena ketegangan antara Fatah dan Hamas meningkat dan meluas di wilayah tersebut.

Hamas dan Fatah telah beberapa kali mencoba dan gagal mencapai kesepakatan untuk menyatukan dua wilayah Palestina yang terpisah di bawah satu pemerintahan, namun perjanjian tahun 2017 yang ditengahi oleh Mesir dengan cepat berantakan. Perjanjian tahun 2022 untuk mengadakan Pemilu dalam waktu satu tahun tidak ditindaklanjuti.

Negara-negara Barat menolak menerima pemerintah mana pun yang mencakup Hamas kecuali mereka secara tegas mengakui Israel.

Ma Xiaolin, pakar hubungan internasional di Universitas Studi Internasional Zhejiang, mengatakan perjanjian tersebut merupakan terobosan yang signifikan.

Mengakui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai satu-satunya perwakilan sah Palestina berarti kelompok-kelompok saingan seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ) mungkin akan bergabung dalam koalisi suatu saat nanti, katanya.

Kesepakatan itu juga menegaskan kembali solusi dua negara, kata Ma, sambil menambahkan: “Ini menandakan bahwa Hamas dan PIJ menerima Israel sebagai sebuah negara dan mereka tidak bermaksud untuk memulihkan seluruh wilayah Palestina kecuali Yerusalem Timur, Jalur Gaza dan Tepi Barat. – dan ini adalah langkah maju yang bagus.”

Kesepakatan pada hari Selasa itu terjadi ketika Tiongkok berupaya memosisikan dirinya sebagai mediator di Gaza. Pada bulan Maret tahun lalu, mereka menjadi perantara kesepakatan damai antara Iran dan Arab Saudi yang bersaing di Timur Tengah.

Tiongkok juga berupaya menengahi perang Rusia di Ukraina, dengan Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba berada di Beijing minggu ini untuk membahas peran Tiongkok dalam mengakhiri perang serta kerja sama ekonomi.

Para pengamat di Tiongkok mengatakan masih harus dilihat prospek perjanjian Palestina, mengingat perjanjian rekonsiliasi sebelumnya gagal dilaksanakan. Persatuan nasional yang dicapai saat ini akan memperkuat posisi Palestina dalam perundingan di masa depan dengan Israel dan Barat, kata mereka.

“Jika faksi-faksi tersebut dapat mencapai tingkat persatuan strategis tertentu dan membentuk satu suara demi kepentingan rakyat, hal ini dapat membantu Palestina mendapatkan dukungan dari dunia Arab dan Islam serta memperkuat posisinya dalam perundingan perdamaian di masa depan dengan Israel,” kata Liu. “Ini adalah langkah maju yang besar.”

Dia juga mengatakan kesepakatan itu merupakan kemenangan diplomatik bagi Tiongkok, yang dengan semakin besarnya pengaruhnya di Timur Tengah telah menciptakan “efek demonstrasi” setelah Tiongkok menjadi perantara ketegangan antara Arab Saudi dan Iran pada musim semi lalu.

“Ini berarti posisi Tiongkok, baik sebagai mediator atau penjamin, diterima oleh negara-negara tersebut dan, sebagai kekuatan global, Tiongkok mampu melakukan hal ini.” [SHR]

Berbagi artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *