Anggota parlemen di Bahrain berupaya untuk membatalkan perjanjian normalisasi Kerajaan tersebut dengan Israel sehubungan dengan aksi genosida yang dilakukan negara pendudukan tersebut terhadap warga Palestina di Gaza.
Wakil Ketua Majelis Nasional Bahrain, Abdulnabi Salman mengatakan kepada Sputnik Arab pada hari Senin (6/10/2023) bahwa anggota Badan Legislatif menuntut diakhirinya hubungan diplomatik dengan Israel. Hubungan ini terjalin tiga tahun lalu sebagai bagian dari Perjanjian Abraham yang ditengahi AS, yang awalnya dilakukan bersama dengan UEA.
“Tuntutan anggota parlemen Bahrain merupakan cerminan aspirasi masyarakat [Bahrain],” kata Salman.
“Permintaan paling penting diwakili oleh pembatalan penuh normalisasi dan pemutusan semua hubungan, yang berarti pembatalan Perjanjian Abraham.”
Pada akhirnya, tambah pejabat parlemen tersebut, keputusan apa pun mengenai hubungan Bahrain-Israel diambil oleh Raja Hamad Bin Isa Al-Khalifah dan pemerintahannya.
Pekan lalu, Majelis Rendah Parlemen Bahrain mengumumkan bahwa negara tersebut telah menangguhkan hubungan ekonominya dengan Israel, sementara duta besar Bahrain untuk Israel juga dipanggil kembali. Penerbangan antara Manama dan Tel Aviv juga telah ditangguhkan.
Pada saat itu, parlemen di Manama menegaskan: “Hal ini terjadi sebagai konfirmasi atas posisi bersejarah dan tegas Bahrain dalam mendukung perjuangan Palestina dan hak-hak sah rakyat Palestina.”
Namun, Israel membantah bahwa Manama menarik duta besarnya, dan menyatakan bahwa hubungan dengan negara Teluk tersebut “stabil”. Times of Israel mengutip seorang pejabat senior yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan Duta Besar Bahrain, Khaled Al-Jalahma, telah kembali ke Kerajaan karena alasan pribadi.
Terlepas dari keputusan Pemerintah Bahrain untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara apartheid tersebut, masyarakat Bahrain tetap vokal menentang normalisasi, yang menurut mereka merupakan “pengkhianatan” terhadap rakyat Palestina.
Protes terjadi terhadap serangan dan invasi yang sedang berlangsung di Gaza yang kini telah menewaskan lebih dari 10.000 warga sipil Palestina, yang lebih dari setengahnya adalah anak-anak dan para wanita. [SHR]