Rezim Israel melakukan upaya pengusiran paksa keluarga Palestina dari rumah yang sudah mereka tinggali selama lebih dari 70 tahun untuk diserahkan kepada pemukim ilegal dan ekstremis Yahudi.
Keluarga Salem telah tinggal di rumah mereka di lingkungan Sheikh Jarrah sejak awal 1950-an, ketika Yerusalem Timur yang diduduki berada di bawah kendali Yordania.
Jika pengusiran paksa dilakukan, 12 warga Palestina akan kehilangan tempat tinggal –setengahnya adalah anak-anak.
Aksi sewenang-wenang Itamar Ben-Gvir, seorang anggota parlemen ekstrem kanan Israel, yang mendirikan kantor darurat di halaman luar rumah sebuah keluarga di Sheikh Jarrah awal pekan ini, memicu konfrontasi.
Terakhir kali Ben-Gvir mendirikan toko di lingkungan tersebut pada Mei 2021, berbuntut “serangan militer paling menghancurkan Israel di Gaza dalam tujuh tahun”, seperti yang disebut oleh kelompok Bantuan Medis untuk Palestina.
Upaya Israel untuk memaksa keluarga lain keluar dari rumah mereka di Sheikh Jarrah musim semi lalu meningkat menjadi konfrontasi skala penuh bulan itu dengan Palestina.
Pemukim Yahudi ekstremis telah ditempatkan di dekat rumah keluarga di Sheikh Jarrah, menari-nari secara provokatif, menyerang anggota keluarga dan pendukung Palestina.
“Daripada memberikan keselamatan dan keamanan kepada penduduk di lingkungan tersebut, pihak Israel malah menggunakan provokasi seperti ini dan selanjutnya mengobarkan api kerusuhan,” Ir Amim, dari kelompok Israel yang memantau aktivitas permukiman di Yerusalem, mengatakan.
Israel menembakkan peluru baja berlapis karet, tabung gas air mata, dan granat kejut ke arah warga Palestina yang mempertahankan tanah mereka dari penjarahan Israel.
Setidaknya 35 warga Palestina terluka, termasuk tiga petugas medis dan seorang jurnalis, menurut Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina.
Seorang juru bicara Bulan Sabit Merah mengatakan senjata Israel “diangkat melawan petugas medis” dan salah satu ambulans mereka diserang.
Fatima Salem, ibu dari keluarga yang telah tinggal di rumah miliknya sepanjang hidupnya, mengatakan bahwa seorang pemukim ekstremis Yahudi mengancam akan membakar rumah bersama dia dan anak-anaknya di dalam jika mereka tidak pergi.
Salem memberi tahu pemukim itu bahwa dia tinggal di rumah itu. Dia kemudian diserang, hingga tangannya terluka, dan didorong ke tanah, katanya kepada awak media.
Israel memberi waktu kepada keluarga itu sampai akhir bulan untuk pergi, kata Salem.
Keluarga Salem adalah pengungsi Palestina yang sudah mengungsi selama Nakba 1948 –peristiwa pembersihan etnis Palestina yang dilakukan oleh pasukan Zionis untuk mendirikan negara Israel di tempat mereka.
Secara sepihak, rumah itu diklaim milik keluarga Yahudi sebelum tahun 1948.
Israel menaklukkan Yerusalem Timur pada tahun 1967 ketika menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan Suriah dan Gurun Sinai Mesir.
Sebuah kelompok pemukim Israel membeli sebagian dari properti dari ahli waris Yahudi yang diklaim, menurut harian Tel Aviv Haaretz , yang tidak menyebutkan nama kelompok tersebut.
Pada tahun 1988, pengadilan Israel memerintahkan keluarga Salem untuk meninggalkan rumah mereka, sebuah keputusan yang berhasil mereka bekukan.
Keputusan tersebut dimungkinkan oleh Hukum Properti Absen Israel 1950 , yang memungkinkan Israel untuk merebut tanah dan properti yang dimiliki oleh pengungsi Palestina yang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka selama dan setelah Nakba.
Di bawah amandemen tahun 1970 untuk undang-undangnya, Israel mengizinkan orang-orang Yahudi untuk merebut kembali properti Yerusalem yang mereka tinggalkan pada tahun 1948, tetapi tidak mengizinkan hak yang sama untuk orang Palestina –sebuah tindakan rasis yang terang-terangan.
Pada 2015, perintah penggusuran diperbarui, mengharuskan keluarga tersebut pergi pada paruh kedua tahun 2021.
Pada bulan Desember, keluarga menerima perintah pengusiran lain dari Arieh King, seorang pemimpin pemukim sayap kanan dan anggota dewan kota Yerusalem yang dikelola Israel, dan Yonatan Yosef, mantan juru bicara pemukim Yahudi di Sheikh Jarrah.
Pengacara Yosef menunda evakuasi paksa hingga antara 20 Januari dan 8 Februari, Haaretz melaporkan.
Menjadwalkan pembongkaran pada tanggal tertentu “dapat membahayakan pasukan dan menggagalkan keberhasilan evakuasi”, Kepala Inspektur Eliran Hazan mengatakan kepada Haaretz.
“Keluarga Salem adalah salah satu dari 218 keluarga Palestina, terdiri dari 970 orang, termasuk 424 anak-anak, yang tinggal di Yerusalem Timur, terutama di lingkungan Sheikh Jarrah dan Silwan, yang saat ini menghadapi ancaman pengusiran paksa oleh rezim Israel,” kelompok pemantau PBB OCHA mengatakan pada hari Jumat.
Sejak awal tahun, rezim Israel menghancurkan 19 bangunan Palestina di Yerusalem Timur yang diduduki, dan menggusur puluhan lainnya, menurut dokumentasi OCHA.
Dua dari bangunan yang dihancurkan berada di Jabal al-Mukabbir, mengakibatkan 10 orang mengungsi.
Warga lingkungan Sheikh Jarrah keluar ke jalan minggu ini untuk memprotes pembongkaran yang sedang berlangsung di lingkungan mereka di depan gedung kota Yerusalem yang dikuasai Israel.
Israel “mempromosikan pembangunan ribuan unit rumah untuk penduduk Yahudi dan hampir tidak ada unit rumah untuk penduduk Palestina,” kata Ir Amim.
“Pemindahan paksa adalah kejahatan perang dan pilar sistem apartheid Israel,” kata Amnesty International setelah awal bulan ini mengakui bahwa Israel mempraktikkan kejahatan apartheid terhadap warga Palestina.
“Kami menyerukan otoritas Israel untuk segera menghentikan penggusuran paksa di lingkungan Sheikh Jarrah dan mengakhiri pemindahan paksa warga Palestina yang sedang berlangsung dari Yerusalem Timur.” []