Apa yang Diabaikan Media di Afghanistan

Oleh Musa Kazhim Al-Habsy

 

Pada 26 Agustus 2021 terjadi ledakan bom di luar Bandara Kabul, Afghanistan. Serangan itu dilaporkan menyebabkan ratusan warga Afghanistan dan belasan pasukan Amerika Serikat tewas. Dilaporkan pula bahwa kelompok yang disebut “ISIS-Khurasan” (ISIS-K) mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Lalu, menyusul serangan itu, sejumlah anggota Kongres Amerika memberi penyataan agar pasukan Amerika tidak meninggalkan Afghanistan begitu saja tapi harus tetap di sana untuk memburu pelaku serangan tersebut dan membalaskan dendam Amerika.

Pada artikel sebelumnya, saya telah menyatakan bahwa invasi Amerika ke Afghanistan itu sendiri merupakan sebuah kesalahan strategis karena ternyata setelah 20 tahun invasi, Amerika nyaris tidak mendapatkan apa-apa dan juga tidak berhasil meraih tujuan-tujuan yang telah dideklarasikan sejak awal invasi itu. Pertama, menghancurkan Taliban. Tujuan ini secara eksplisit disampaikan George W Bush. Tapi, pada akhirnya, Amerika justru bernegosiasi dengan Taliban dan Taliban berhasil merebut hampir seluruh Afghanistan. Artinya, tujuan penghancuran Taliban tidak berhasil. Tujuan kedua adalah menghancurkan jaringan-jaringan teror yang terafiliasi dengan Taliban, yang dulu disebut dengan “Al-Qaeda”. Ini pun tidak berhasil. Kesalahan strategis berikutnya yang terjadi adalah ketika Amerika berusaha menarik mundur pasukannya dari Afghanistan. Kita tahu justru kekacauan dan segala macam instabilitas dan kekacauan muncul karena aksi penarikan itu terjadi tanpa sebuah perencanaan yang matang dan efektif, sehingga mengakibatkan massa atau masyarakat berdatangan secara mendadak ke bandara dan menimbulkan kekacauan di sana. Amerika juga tidak berhasil menunjukkan kedigdayaannya dalam melakukan evakuasi atas orang-orang yang selama ini bekerja untuk Amerika atau militer Amerika.

Artinya, ada dua sisi kesalahan strategis. Di awal mereka menginvasi dan tidak berhasil meraih tujuannya dan yang kedua adalah kesalahan strategis saat melakukan evakuasi. Amerika tidak berhasil melakukan evakuasi yang beradab dan tertib, padahal memiliki kekuatan yang luar biasa: ribuan helikopter dan kendaraan militer, logistik, punya pasukan pendudukan di sana, mengenal Afghanistan, punya daftar orang-orang yang bekerja untuk mereka dan sebagainya.

Jadi, fenomena yang terjadi di sekitar Bandara Kabul menunjukkan sebuah kegagalan strategis yang luar biasa. Sebab, kita tahu sampai sekarang proses evakuasi ini berjalan tertatih-tatih dan tidak memenuhi tenggat-tenggat yang telah ditetapkan sebelumnya.

https://www.aljazeera.com/wp-content/uploads/2021/08/000_9L87KT.jpg?fit=1170%2C778

Serangan ISIS-K yang terjadi beberapa hari lalu, menurut saya, merupakan pukulan terberat bagi segala kekeliruan atau inilah puncak gunung es dari segala macam kegagalan yang telah terjadi sebelumnya. Jadi, ini seperti gong dari sekian banyak kekacauan. Sebab, kita mendengar beberapa hari sebelum serangan atas Bandara Kabul adanya kekhawatiran tentang serangan dari ISIS-Khurasan ini.

Khurasan itu secara historis merupakan daerah kekuasaan “Iran” zaman dulu, yang termasuk di dalamnya Afghanistan, wilayah perbatasan Pakistan, dan sebagian negara Asia Tengah eks Soviet. ISIS-Khurasan ini adalah cabang ISIS di wilayah ini yang punya garis pemikiran sangat keras. Sejumlah analis mengatakan mereka sebetulnya terdiri dari orang-orang Taliban yang tidak sepenuhnya sepakat dengan cara-cara Taliban bernegosiasi dan mengambil kekuasaan secara lebih tertib dan beradab. Konon kabarnya di dalam ISIS-Khurasan ini ada “jaringan Haqqani”, yang kita tahu memang merupakan unsur ekstrem di dalam tubuh Taliban. Pimpinan Jaringan Haqqani ini dipimpin oleh seorang bernama Khalil Haqqani yang kepalanya dihargai 5 juta dolar oleh pemerintah AS. Beberapa waktu setelah jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, dia terlihat di sekitar Bandara Kabul dan kembali unjuk gigi di Afghanistan.

Semua fenomena itu, menurut saya, memperkuat kesimpulan saya sebelumnya, bahwa apa yang terjadi di Afghanistan harus diungkapkan sebagai kegagalan dan kekalahan Amerika sejak awal hingga saat ini. Ini akan menjadi catatan historis yang penting tentang menurunnya sebuah imperium bernama Amerika.

Ada anggapan menyusul serangan Kabul itu bahwa Afghanistan merupakan negeri yang tidak bisa damai dan selalu berkonflik, apalagi jika ditinggalkan oleh Amerika. Menurut saya, peristiwa itu justru menunjukkan hal sebaliknya. Sebelum ada Amerika dan sebelum ada invasi Uni Soviet, Afghanistan adalah negeri yang makmur. Kita bisa melihat Afghanistan pada era 1950-an di bawah raja terakhir mereka, yaitu Mohammad Zahir Shah. Afghanistan kala itu adalah negara seperti negara-negara lain di Timur Tengah. Afghanistan baru hancur lebur atau menjadi tempat pertarungan, peperangan, dan pertempuran yang seolah-olah tanpa henti sejak invasi Uni Soviet.

Invasi Soviet sendiri harusnya menjadi persoalan lokal atau paling banter persoalan regional. Namun, Amerika ikut campur dengan membawa dan merekrut ribuan orang dari seluruh dunia Islam untuk ikut bertempur di sana dan mendoktrin orang-orang rekrutan ini untuk mengobarkan apa yang disebut sebagai “jihad global” melawan komunisme dan menegakkan Khilafah Islamiyah di seluruh dunia. Sebelum ada semua itu, Afghanistan adalah sebuah negara yang biasa saja, sama seperti negara-negara lain.

Di sini ada kesalahan Uni Soviet atau Blok Timur ketika itu. Tapi, kesalahan respons Blok Barat, terutama sekali Amerika, dalam menghadapi invasi Soviet justru membawa kekacauan dan peperangan tanpa henti serta konflik dan pertumpahan darah internal yang tiada habisnya hingga hari ini. Itu dikarenakan adanya operasi intelijen untuk meradikalisasi kelompok-kelompok Islam, sehingga mereka tidak punya toleransi terhadap sesama Muslim sendiri, dan melatih mereka dengan sejumlah pelatihan militer serta memberi mereka logistik dan dana untuk melakukan operasi-operasi di berbagai wilayah. Artinya, ketika melatih kelompok-kelompok itu dan menanamkan doktrin ideologi radikal, Amerika tengah menciptakan segerombolan serigala yang siap menerkam siapa saja. Dan terbukti sejak era 1990-an sampai sekarang Afghanistan menjadi battle ground yang tidak pernah mereda. Saya kira kita tidak boleh membicarakan persoalan di Afghanistan secara ahistoris.

Titik balik signifikan dalam sejarah Afghanistan dimulai dengan mobilisasi global orang-orang ekstremis dari seluruh dunia itu. Itu tidak bisa dihapus karena di situlah kita tahu ada kepentingan Amerika untuk menjadikan Afghanistan sebagai basis dari berbagai agenda mereka di Timur Tengah. Di sisi lain, Arab Saudi dan negara-negara Arab di Teluk ingin Afghanistan menjadi tempat peternakan dan rekrutmen tentara bayaran. Mungkin tentara itu tidak dibayar dengan duit tapi dibayar dengan doktrin-doktrin yang salah tentang agama dan mereka disebarkan ke mana-mana.

Kita bisa melihat elite Al-Qaeda itu sendiri adalah orang-orang Arab Saudi. Ini sering menjadi bahan cemoohan di kalangan para peneliti dan analis, mengapa Amerika harus menghukum Afghanistan setelah 9/11, padahal 15 dari 19 teroris yang terlibat dalam serangan 9/11 adalah orang-orang Arab Saudi, dan bukan Afghanistan. Dalam dokumen penyelidikan Kongres Amerika, yang biasa disebut dengan “The 28 Pages”[1], teroris 9/11 itu difasilitasi oleh pangeran-pangeran Saudi. Penulis dan sutradara dokumenter seperti Michael Moore, yang pernah membuat film “Fahrenheit 9/11” (2004) juga mempersoalkan mengapa Afghanistan yang harus menjadi target serangan, padahal tidak ada orang Afghanistan yang terlibat dalam 9/11[2]. Yang ada adalah orang Saudi, Yaman, dan selebihnya Pakistan.

Nah, itu berarti ada agenda untuk menjadikan Afghanistan tempat persembunyian agenda-agenda terkutuk yang kini terbongkar. Lagipula, intelijen Amerika sendiri sudah tahu bahwa Al-Qaeda itu bikinan orang seperti Usama bin Laden dari keturunan Yaman yang tinggal di Arab Saudi, Ayman Zawahiri yang datang dari Mesir dan Abdullah Azzam yang datang dari Palestina.

Memang para teroris ini bersembunyi di Afghanistan. Begitulah narasi invasi Amerika. Tapi, kita harus bertanya, siapa yang memfasilitasi orang-orang ini datang ke Afghanistan pertama kali? Bukankah mereka itu dulu diundang, difasilitasi, dan kemudian dilatih oleh CIA, intelijen Pakistan, dan didanai oleh Arab Saudi? Jadi, menyalahkan warga Afghanistan atas 9/11 itu tidak pada tempatnya dan jauh panggang dari api. Warga Afghanistan dalam hal ini justru adalah korban.

Nah, yang lebih aneh lagi invasi yang berlarut-larut sampai 20 tahun ini, apa hasilnya? Yang disebut pencabutan akar-akar terorisme tidak terjadi. Al-Qaeda malah bermetamorfosa menjadi bermacam-macam kelompok teror seperti ISIS-K. Artinya, semua pekerjaan Amerika di Afghanistan tidak membuahkan hasil, dan bahkan menghasilkan sesuatu yang justru kontraproduktif.

Media sekarang ini menyodorkan dua framing. Ada media yang mengglorifikasi “kemenangan” Taliban. Di sisi lain, kita melihat ada media yang menggencarkan berita tentang kebrutalan dan teror Taliban serta menciptakan kepanikan, baik di Afghanistan sendiri maupun di kawasan Timur Tengah dan bahkan dunia, akan bahaya dan kebengisan Taliban.

Dua framing itu sebenarnya adalah pengalihan isu. Sebab, sesungguhnya yang harus kita tunjuk hidungnya sebagai penanggung jawab atas segala kerusakan, kekacauan, serta segala macam pembunuhan dan jumlah korban yang begitu besar itu adalah Amerika. Amerika datang jauh-jauh ke Afghanistan konon mau menegakkan demokrasi, menyejahterakan rakyat Afghanistan, menciptakan ketenangan, kedamaian, dan lain sebagainya. Tapi, semua itu ternyata tidak terjadi. Dan juga pada akhirnya Taliban adalah bagian dari masyarakat Afghanistan yang tidak mungkin bisa dicerabut. Mereka sudah ada di sana dan menjadi bagian dari masyarakat sejak lama.

Aksi bom bunuh diri di Bandara Kabul itu bukan mencoreng Taliban tapi menegaskan kegagalan Amerika dalam agendanya di Afghanistan selama 20 tahun. Aksi bom bunuh diri ISIS-Khurasan ini justru memperlihatkan bahwa selama ini Taliban tidak sepaham dengan ISIS-Khurasan, dan itu telah diungkapkan oleh jubir Taliban dalam beberapa konferensi pers. Selama ini mereka berperang melawan ISIS. ISIS makhluk asing, proksi yang datang dari mana-mana, yang tidak punya agenda politik tapi agenda mereka hanyalah destablisasi dan teror. ISIS tidak pernah tahu apa yang akan mereka lakukan setelah penghancuran itu. Mereka menganut doktrin Neo-Khawarij, yang intinya adalah anti terhadap segala lembaga politik. Doktrin nihilistik seperti ini jauh dari agama apa pun.

Lalu, bagaimana ISIS bisa muncul? Kita bisa melihat kemunculan ISIS selalu berhubungan dengan “tangan-tangan” asing. Pada umumnya orang-orang ISIS ini adalah orang-orang yang asing dari tanah air mereka dan kemudian diberi doktrin yang salah. Mereka menjadi seperti robot-robot yang digerakan. Saya mengatakan mereka adalah tentara bayaran tapi bayarannya adalah khayalan mereka sendiri. Kita tahu doktrin mereka itu palsu dan batil secara keseluruhan. Mereka ini dicerabut dari keluarga dan lingkungan mereka untuk sekadar merusak tanpa tahu setelah kerusakan apa yang akan dilakukan.

ISIS tidak mampu bersahabat dengan kelompok yang doktrin ideologisnya paling dekat sekalipun. Apalagi dengan kelompok di luar ideologi mereka dan lebih-lebih lagi dengan kelompok yang berseberangan dengan mereka. Biasanya makhluk yang seperti ISIS ini, kalau dalam evolusi, hanya memiliki dua pilihan. Mereka menghabisi yang lain dan kemudian punah karena di antara mereka akan saling memangsa. Di mana pun mereka mau melakukan habitasi akan muncul di dalam lingkungan itu yang lebih ekstrem untuk menafikan yang kurang ekstrem, dan begitu seterusnya. Atau pilihan lain: mereka bermetamorfosa menjadi lebih lunak dan berasimilasi dengan lingkungannya.

Itu jugalah yang terjadi dengan ISIS-Khurasan. Semula mereka bisa bersahabat dengan Taliban tapi kemudian mereka melihat Taliban ini makin loyo, semangat jihadnya hilang. Kemudian mereka berpikir menghabisi Taliban ini. Dalam ledakan bom bunuh diri di Bandara Kabul, sekitar 30-an anggota Taliban juga tewas. Jadi, artinya ISIS-Khurasan menyasar siapa saja, entah itu pasukan Amerika yang pernah melatih mereka, Taliban yang pernah menampung mereka, atau warga sipil yang sama sekali tidak punya urusan dengan mereka.

Pertanyaannya, setelah 20 tahun di Afghanistan, kenapa justru di hari-hari Amerika mau pergi, kelompok seperti ini muncul lagi? Ini semua menambah daftar kegagalan Amerika di kawasan.

Yang juga jarang diberitakan di media massa adalah apa yang dilakukan oleh Amerika selama 20 tahun di Afghanistan. Kita tahu dalam laporan-laporan media pada 2010 melalui bocoran kabel-kabel diplomatik oleh Wikileaks, adanya korupsi masif atau besar-besaran di Afghanistan yang melibatkan kontraktor militer, pejabat militer, pejabat keamanan, pejabat intelijen dan pejabat Afghanistan sendiri. Ini jarang diungkap media massa saat ini dan juga tidak dimintai pertanggungjawaban oleh Kongres Amerika. Kalau kata orang Arab, inilah baitul qasid atau poin utama dari perang panjang di Afghanistan.

Kalau kita melihat secara deklarasi, perang ini bertujuan untuk memusnahkan kelompok-kelompok teror, membangun demokrasi di Afghanistan, membangun pemerintahan yang stabil, dan bla…bla…bla. Semua tujuan itu tidak tercapai. Tapi, perang berlanjut terus. Kalau Amerika sudah tidak bisa mencapai apa yang disebut sebagai pemerintahan demokratis dan rakyat yang sejahtera serta damai, harusnya dalam lima tahun mereka berhenti. Tapi, mengapa Amerika melanjutkan perang ini sampai 20 tahun? Saya kira inilah perang terlama Amerika di wilayah mana pun, terutama di Timur Tengah.

Mengapa perang ini terus berlanjut? Menurut catatan Harvard University’s Kennedy School dan Brown University Costs of War Project, invasi Amerika telah menewaskan 47.245 warga Afghanistan, 60.000 militer dan polisi Afghanistan, serta 2.448 pasukan Amerika. Invasi ini juga menghabiskan dana 2 triliun dolar Amerika dalam bentuk utang, yang kalau kita perkirakan pada 2050 akan membengkak menjadi 6 triliun dolar Amerika. Maka, pastilah ada pihak yang mengambil untung dari perang ini. Salah satu hal yang jarang diungkapkan di media, bahwa Amerika berperang dengan tujuan menggerakkan industri militer, dan ketika industri militer itu bergerak, akan ada yang mendapatkan fee. Proyek perang akan menguntungkan sejumlah orang dan akan menciptakan kontrak-kontrak: kontrak keamanan dan berbagai bisnis sampingan yang dapat menghasilkan duit dan keuntungan bagi segelintir orang. Segelintir orang ini kemudian dapat bersembunyi di balik segala macam kata-kata, slogan, dan agenda yang terlihat sebagai sesuatu yang bisa diterima oleh publik: agenda memerangi teror, agenda menyejahterakan rakyat, membebaskan masyarakat dari apa yang disebut sebagai gerakan berbahaya Taliban, dan membalas dendam Amerika terhadap Al-Qaeda dan ISIS.

Alhasil, semua itu menjadi cover atau kedok dari pengerukan uang dan anggaran yang berasal dari uang pajak rakyat Amerika. Ini yang jarang diungkap media ke publik, bahwa dalam semua peperangan Amerika itu, akan ada elite militer, elite industri tertentu, elite korporasi tertentu, dan kontraktor-kontraktor yang mendapat untung berlimpah dari situ.

Maka, korban pertama dari rencana perang Amerika itu adalah rakyat Amerika sendiri, baik yang dikirim langsung sebagai prajurit maupun rakyat Amerika yang membayar pajak yang membiayai perang itu. Padahal, yang mengambil keuntungan dari perang itu adalah elite tertentu yang sangat sedikit. Kemudian korban selanjutnya adalah negara yang dijadikan target dari peperangan itu. Dalam konteks ini, negara itu adalah Afghanistan dan rakyatnya.

Lalu, setelah 20 tahun, mereka mengklaim telah membangun militer Afghanistan. Tapi, militer itu dalam sekejap bisa bubar dan kemudian pemerintahannya kolaps. Itu menunjukkan bahwa sebetulnya orang-orang ini, yang disebut sebagai militer Afghanistan, yang katanya berjumlah sampai 300.000 orang itu, semuanya hanya daftar nama yang digaji oleh sebuah anggaran yang diambil Amerika dari pajak rakyatnya. Jangan-jangan daftar nama itu tidak digaji melainkan hanya disebutkan dalam sebuah proyek bahwa mereka harus menggaji 300.000 orang.

Sekarang, pertanyaannya ke mana 300.000 orang itu, yang katanya merupakan pasukan militer Afghanistan? Lalu, kenapa Ashraf Ghani meninggalkan pemerintahan—bila benar pemerintahan itu didukung oleh institusi-institusi demokrasi dengan think tank-nya dan konsultannya? Mengapa pemerintahan itu dan Amerika tidak bisa bertahan menghadapi orang-orang yang disebut dalam bahasa Inggris dengan ragtag, atau orang-orang kampungan, santri-santri yang memakai pakaian dan senjata ala kadarnya bernama Taliban? Mengapa Amerika tidak mampu memprediksi kebangkitan dan kekuatan Taliban. Saya kira Amerika memang tidak peduli dengan itu. Paling tidak mereka yang merencanakan perang ini sudah tidak peduli dengan itu. Sebab, buat mereka, perang itu sendiri sudah menguntungkan, dan bukan hasil dari perang itu.

Jadi itulah mengapa menurut saya, kepentingan nasional Amerika tidak akan pernah ada dalam perang-perang itu. Dan kesimpulan ini sudah ada dalam banyak kajian akademis sejak perang Amerika di Vietnam. Tidak ada kepentingan nasional Amerika dalam perang-perang yang mereka lakukan. Lalu kepentingan siapa? Kepentingan apa yang disebut sebagai “industrial military complex” atau korporasi-korporasi militer yang menggerakkan perang ini dalam rangka menyedot dana sebanyak mungkin dari pajak rakyat Amerika. Inilah yang menyebabkan perang ini berlarut-larut sampai 20 tahun. Sekiranya memang perang ini memiliki kepentingan nasional rakyat Amerika, saya kira dalam 5 tahun mereka sudah tahu bahwa mereka tidak akan pernah bisa mengalahkan Taliban dan harus menempuh cara lain selain perang, yaitu diplomasi dengan mengajak kerjasama negara-negara di sekitar dan sebagainya. Itu yang akan mereka lakukan seandainya memang mereka bertujuan untuk menyejahterakan rakyat Afghanistan dan mengamankan rakyat atau dunia dari terorisme.

Kalau kita mau berhitung secara kuantitatif (tidak usah secara kualitatif karena secara kualitatif kejahatan Taliban itu kejahatan warga biasa dan bukan kejahatan negara yang punya konvensi-konvensi dan berbagai hukum internasional) maka yang terbunuh oleh senjata Amerika itu berlipat-lipat ganda jika dibandingkan dengan yang terbunuh oleh senjata Taliban. Bahkan, kalau kita bicara angka kasar, sebuah tembakan dari pesawat tempur itu bisa menghancurkan dan meluluhlantakkan sebuah desa dalam waktu sekejap (kita bicara dalam hitungan menit atau bahkan detik). Itu terjadi tanpa verifikasi dan tidak tercatat secara pasti. Ini sangat berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh Taliban yang terjadi mungkin dalam beberapa hari, mudah dilaporkan, mudah direkam, dan bisa dilaporkan ke berbagai media di seluruh dunia. Bayangkan betapa cepatnya sebuah pesawat tempur menjatuhkan bom di suatu wilayah sementara kita tidak pernah tahu itu jatuh di mana, pesawat tempurnya berangkat dari mana, dan siapa yang bertanggung jawab. Warga yang mati boleh jadi juga sudah tidak ada wujud fisiknya, apalagi kemudian belakangan Amerika menggunakan drone dalam melakukan aksinya di Afghanistan.

Selama ini kamera media diarahkan oleh kekuatan kapitalis dan imperialis kepada kelompok Taliban, dan bukan kepada militer Amerika. Mereka berdalih militer Amerika punya struktur dan sistem pertanggungjawaban. Apa benar ada sistem pertanggungjawaban yang bersifat transparan bagi militer Amerika? Bukankah “war on terror” ini telah mengakibatkan jebolnya banyak banyak hak sipil, undang-undang militer itu sendiri dan bahkan jebolnya konvensi-konvensi internasional serta hukum internasional, sehingga tidak akan pernah ada pengadilan yang transparan dan adil tentang kejahatan Amerika di Afghanistan dan juga di wilayah lain di Timur Tengah?

Ini secara kuantitatif saja. Kalau secara kualitatif, kita bisa bicara tanpa ada ujungnya. Artinya, kita bicara tentang kejahatan sebuah negara adidaya yang akan dengan mudah menutupi kejahatannya secara langsung atau tidak langsung dan dapat berkelit dengan berbagai cara untuk menghindari segala bentuk persekusi, kriminalisasi, dan pengadilan. Kita bisa melihat hal yang sama pada apa yang terjadi di tanah pendudukan Palestina sejak 1948. Rezim Zionis melakukan segala kejahatan dan kebiadaban dalam segala dimensinya. Kolonialisme itu sebuah kejahatan di dalam dirinya sendiri. Lalu, kejahatan itu, kalau mau kita urai, memiliki banyak dimensi, mulai dari dimensi fisik, dimensi psikologis, dimensi kemanusiaan, dimensi ekologis, dimensi geografis, dan berbagai macam dimensi kejahatan lainnya.

Pada akhirnya, seperti kata Winston Churchill—dan saya tidak setuju dengan perkataan itu meskipun dia berkata jujur dan apa adanya—bahwa history is written by victors. Pada akhirnya, pemenang itulah yang menulis sejarah. Artinya, sejarah itu ditulis oleh pemenang karena pemenang bisa memaksa tangan-tangan yang menuliskan sejarah untuk menyatakan bahwa yang jahat, yang keji, yang kejam dan barbar adalah yang ditindas, sementara yang menindas adalah orang-orang beradab, terdidik dan complicated. Kita bisa melihat hal yang sama terjadi pada suku Indian di Amerika. Mereka dimusnahkan, diperbudak, diinvasi, dan dijajah tapi pada akhirnya film-film atau cerita-cerita lebih suka mengisahkan kekejian dan berbagai macam barbarisme mereka. Itulah yang ditonjolkan, ditampilkan, dan disorot sementara kita tidak pernah membicarakan bahwa yang kejam itu adalah yang datang dan menghabisi mereka, memusnahkan mereka, membuat mereka tidak punya lahan serta tidak punya tempat tinggal, sehingga mereka pada umumnya sekarang menjadi manusia tanpa identitas. Sementara itu, imigran-imigran yang berdatangan ke Amerika pada masa 300 tahun yang lalu itu ditampilkan sebagai orang-orang beradab.

Itulah yang juga terjadi di Afghanistan dan di mana-mana. Ada di pikiran banyak orang bahwa Afghanistan itu sebuah negara biadab. Orang-orangnya jahat dan keji. Mereka berperang terus. Baru saja mau selesai perang, mereka berperang lagi. Itu menurut saya pikiran yang sudah disusupi imperialisme dan kolonialisme.

Saya punya harapan bahwa hengkangnya Amerika dari Afghanistan adalah awal dari proses dekolonialisasi yang masih sangat panjang dan membutuhkan waktu lama. Harus ada upaya multi-faset yang serius untuk mencabut akar-akar kolonialisme yang telah mencetak memori kolektif manusia tentang siapa yang jahat dan siapa yang perlu baik. Menurut saya, proses dekolonialisasi ini yang terus dilakukan secara lebih kritis dan lebih mendalam.


Ketika kita bicara tentang Afghanistan, maka premisnya adalah betapa bangkrutnya cara yang dilakukan adidaya Amerika dalam menyelesaikan persoalan. Jadi, mereka katanya punya masalah dengan terorisme tapi melakukan terorisme yang lebih besar dan lebih sistematis, yang menghasilkan ribuan teror kecil dan menyuburkan ideologi terorisme di tempat di mana mereka datang untuk menghabisinya. Itulah yang terjadi.

Masyarakat Afghanistan sudah tidak percaya lagi dengan cara itu. Maka, apa yang terjadi di Afghanistan dalam beberapa waktu belakangan ini bukanlah kemenangan Taliban. Taliban tidak meraih kemenangan dan mukjizat sebagaimana yang ingin diglorifikasi oleh sebagian orang yang berafiliasi dengan kelompok Islam garis keras. Semuanya itu tidak benar. Yang benar adalah kegagalan Amerika akibat kebencian sebagian besar masyarakat Afghanistan terhadap apa yang dilakukan Amerika selama 20 tahun di negeri mereka, berupa korupsi, penghancuran, dan penanaman pemerintahan boneka yang hanya bisa melakukan korupsi itu tadi. Ketidaksukaan mayoritas rakyat Afghanistan itu memberi mandat kepada Taliban untuk melakukan pengusiran Amerika. Amerika sendiri ternyata tidak berhasil menciptakan bonekanya karena memang bukan kepentingan Amerika punya boneka itu. Boneka itu ada hanya sebagai cover dari korupsi anggaran militer yang mereka ambil dari uang pajak rakyat Amerika.

Rakyat Amerika kini sudah bersuara di media-media sosial, betapa mereka tidak senang dan tidak setuju dengan perang-perang yang dilakukan oleh segelintir elite Amerika ke negara-negara dan bangsa-bangsa lain. Suara kritis itu sebenarnya sudah terdengar sejak 1970-an saat Amerika melakukan perang Vietnam dan sekarang makin nyaring karena adanya media sosial. Kalau mau jeli dan membuka mata, kita akan berbicara tentang elite Amerika yang tidak pernah punya sense of national interest, elite yang memang tidak pernah mengerti apa itu hakikat bernegara dan berbangsa, elite yang hanya tahu mencari untung dari anggaran yang ada, dan elite yang tidak pernah peduli apakah terorisme bakal hilang atau tidak.

Catatan ironis terakhir yang perlu saya utarakan di sini untuk menggambarkan kekacauan strategis AS di Afghanistan. Amerika telah meninggalkan tidak kurang dari 85 miliar dolar Amerika berupa persenjataan, kendaraan militer, dan berbagai infrastruktur militer bagi Taliban yang konon pada 2001 hendak mereka habisi atau tumpas. Apakah ini semacam hadiah buat Taliban yang selama ini mau diperdaya Amerika untuk melangsungkan proyek dan bisnis perang mereka di Afghanistan?! Ataukah ini sisa-sisa korupsi anggaran yang terpaksa harus ditinggalkan, karena tidak ada yang memerlukan segala aset itu lagi di AS?!

Maka, sekarang ini tidak ada jalan lain bagi rakyat Afghanistan kecuali melakukan rekonsiliasi dan membentuk konsensus. Saya mendengar ada kantong resistensi di Lembah Panjshir. Saya berharap pimpinan Aliansi Utara di sana, yakni Ahmad Massoud, sadar bahwa mereka harus melakukan rekonsialiasi dengan Taliban yang kini dianggap mewakili Afghanistan pada umum dan juga dengan kelompok masyarakat serta entis lain. Semua mereka harus duduk bersama untuk membangun Afghanistan yang mandiri dan merdeka dari intervensi asing.[]



[1]    “The 28 Pages” merujuk kepada bagian akhir laporan penyelidikan Kongres Amerika Serikat yang mengindikasikan adanya dukungan finansial dan logistik bagi para pelaku teror 9/11 dari pejabat-pejabat Arab Saudi. Dokumen ini awalnya dihilangkan dari laporan tersebut dan baru dibuka ke publik berkat tuntutan keluarga korban 9/11 pada 15 Juli 2016.

[2]    Michael Moore, “Peeling The American Onion: It Ain’t Over ‘Til The Last Burger King Leaves Kandahar”, 21 Agustus 2021. https://www.michaelmoore.com/p/peeling-the-american-onion.

Berbagi artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *