Oleh: Musa Kazhim Alhabsyi
Pada 6 Mei silam, dunia menyaksikan babak baru konfrontasi rakyat Palestina dengan rezim Zionis Israel. Sejumlah besar warga Palestina memprotes keras rencana otoritas Israel mengusir enam keluarga Palestina di Syaikh Jarrah, sebuah kawasan di Tanah Pendudukan Yerusalem Timur. Total sekitar 30 orang warga terkena rencana pengusiran itu. Protes damai dengan cepat berubah menjadi konfrontasi terbuka antara warga Palestina di satu sisi dengan polisi dan gerombolan pendatang Yahudi di sisi lain. Aksi kekerasan aparat dan pendatang mengundang reaksi protes yang lebih besar dari berbagai daerah lain, hingga mencapai kawasan sekitar Masjid Al-Aqsa.
Di seputar Masjid, aparat jadi kian garang. Bukannya meredakan situasi, aparat melakukan pemukulan, penembakan peluru plastik, pelemparan granat setrum, dan penyemprotan gas air mata. Situasi seperti ini berlangsung selama beberapa hari. Akibatnya, ratusan warga Palestina dari berbagai daerah di Yerusalem Timur mengalami luka-luka. Eskalasi tidak bisa dihindarkan. Warga Palestina di kota-kota lain mulai ikut unjuk rasa menggaungkan solidaritas dengan warga Syaikh Jarrah. Mulailah para demonstran di mana-mana menyeru nama yang paling ditakuti Israel: Muhammad Al-Dhayf, komandan Brigade Izzuddin Al-Qassam, sayap militer kelompok perlawanan Hamas.
Menanggapi seruan itu, di bawah komando Al-Dhayf, kelompok-kelompok perlawanan Palestina di Gaza memberi ultimatum: jika sampai pukul 6 petang polisi Israel tidak menghentikan aksi kekerasan di Yerusalem dan meninggalkan Al-Aqsa, maka Gaza akan bereaksi keras. Dan benar, tepat pukul 6.10 petang, kelompok perlawanan melontarkan ratusan roket ke arah Israel. Berselang beberapa menit kemudian, Israel membalas dengan menjatuhkan ratusan misil berhulu ledak dahsyat menggunakan puluhan pesawat tempur.
Berdasarkan beberapa laporan resmi, sedikitnya 248 warga Palestina gugur akibat serangan brutal pesawat-pesawat tempur Israel. Sedikitnya 1,900 warga Palestina terluka, termasuk yang tertimpa reruntuhan rusun bertingkat maupun gedung-gedung lainnya. Sebaliknya, secara material, di pihak Israel ada 12 orang tewas dan 200 luka-luka. Tidak kurang dari 70 persen penduduk rezim Zionis bersembunyi dalam bunker dan Bandara Udara Internasional Ben Gurion ditutup.
Setelah 11 hari, jubir kelompok perlawanan, Abu Ubaida, menyatakan bahwa pihaknya menerima mediasi Mesir dan Qatar untuk menghentikan konfrontasi militer dengan Israel. Dalam pernyataan itu, Abu Ubaida menyebutkan bahwa pihaknya sebenarnya telah menyiapkan serangkaian tembakan roket ke arah Israel saat mediasi Arab itu dinyatakan telah disetujui. Tampaknya pernyataan itu menyiratkan bahwa biro politik Hamas yang dihubungi dan menerima tawaran, sedangkan jari-jari serdadu tetap di pelatuk.
Di sisi lain, Presiden AS Joe Biden mengumumkan gencatan senjata mewakili Israel. PM Netanyahu tidak berani muncul melakukan konferensi pers. Menurut laporan CNN, Biden sampai beberapa kali menelepon Netanyahu dan memaksanya menerima gencatan senjata, mengingat perang itu kian absurd dan jauh dari harapan kemenangan. Di samping itu, pemandangan lapangan menguak kegagapan elite politik dan militer Israel mengarungi babak pertempuran kali ini.
Lalu apa yang terjadi? Apa yang berbeda? Apa hasil perang kali ini? Siapa pihak yang paling dirugikan? Siapa yang memanen keuntungan? Apa parameter menang-kalahnya? Marilah kita geledah satu demi satu dalam rangka melihat keadaan pascaperang secara lebih objektif dan menyeluruh.
Para pengamat luar dan dalam Israel agaknya sepakat bahwa elite politik dan militer negera Yahudi itu sejak awal sudah tergeragap menghadapi situasi yang ada. Tak seperti sebelum-sebelumnya, Israel kali ini menghadapi situasi yang berbeda jauh. Biasanya elite Israel melancarkan serangan membabi-buta dengan dukungan penuh para petinggi politik dan militer. Tapi kali ini Netanyahu justru harus menghadapi gonggongan domestik yang nyaring. Selain Netanyahu dituding ingin memanfaatkan perang demi menyelamatkan diri dari jeratan kasus korupsi yang melilitnya dan keluarganya, para petinggi militer juga tak punya rencana matang menghadapi perubahan lingkungan strategis yang terjadi. Baru kali ini ada serangan dahsyat ke jalur Gaza tanpa sekali pun publik mendengar daftar targetnya. Sampai-sampai isu invasi darat sempat tersiar lalu buru-buru didustakan. Padahal, media massa sudah melaporkan secara langsung mobilisasi pasukan di pinggiran Gaza.
Ketiadaan rencana perang tampaknya juga timbul karena kali ini pihak Israel dikejutkan dengan keberanian kelompok perlawanan memulai aksi, sehingga langkah musuh tampak sekali tertatih-tatih, semata-mata mengandalkan kekuatan otot yang dimilikinya tapi kehilangan akal dan wibawa. Pengamat yang tekun di media massa akan melihat jelas bahwa Israel seperti serigala yang buta dan terluka. Menyerang rusun-rusun, gedung-gedung perkantoran, sekolah-sekolah, dan infrastruktur sipil tanpa maksud kecuali membunuh dan merusak.
Barangkali otak picik Netanyahu sadar bahwa dia tak akan bisa meraih apa-apa dari perang ini. Maka itu dia kobarkan perang itu tanpa nama, target, strategi, bahkan seperti tanpa rapat matang dengan para pejabat politik dan militernya sendiri. Barangkali Netanyahu insaf betapa seringnya seorang PM Israel terjerembab dalam jurang karena sok jagoan tampil mengumumkan sederet target operasi militer lantas berakhir jadi badut yang ditertawakan. Itulah mengapa editorial Yedioth Ahronoth menyebut perang kali ini sebagai “perang paling gagal dan paling dungu”.
Sejumlah orang yang mengolok-olok klaim kemenangan pihak Palestina dengan membandingkan jumlah korban sejatinya hanya kurang pengetahuan dan wawasan. Bagi yang belajar dan punya standar akademis mengukur kemenangan dan kekalahan tentu takkan sampai terjebak dengan kesalahan berpikir seperti itu. Kalangan ahli perang menyebut kesalahan berpikir itu McNamara fallacy, lantaran mantan Menteri Pertahanan AS era perang Vietnam itu doyan sekali mengklaim kemenangan dengan menghitung angka korban dari pihak Viet Cong. Padahal ujungnya para peneliti sepakat AS kalah perang di Vietnam, kecuali tentunya dalam film-film Hollywood.
Sebaliknya, di sisi lain, kelompok perlawanan Gaza justru sejak semula sudah meraih kemenangan terbesar, yakni bersatunya seluruh rakyat Palestina dalam mendukung mereka. Di mata sebagian terbesar rakyat Palestina, kelompok perlawanan Gaza adalah harapan yang paling bisa diandalkan. Begitu mereka terdesak oleh keberingasan aparat pendudukan Israel dan pendatang Yahudi, bantuan Gaza segera datang. Nama Al-Dhayf pun kian meroket sebagai pahlawan bangsa. Keberhasilan kelompok perlawanan mendulang simpati besar seluruh kalangan rakyat Palestina, dari berbagai latar belakang ideologi dan agama, sungguh berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di pihak Israel.
Persatuan bangsa Palestina mendukung jalan perlawanan adalah kemenangan yang tiada tara. Sekarang Israel bakal kesulitan menemukan mitra Palestina yang siap diperhadapkan dengan kelompok perlawanan. Salah satu hasil cuci-otak media zionis bahwa perlawanan bersenjata itu tak bermakna seperti tiba-tiba sirna. Agaknya era zionis memasang sosok seperti Yasser Arafat yang sudi bertekuk lutut melucuti senjatanya sendiri lalu diboyong ke mana-mana untuk sesi foto bersama di meja-meja perundingan kemudian hidup dalam pengawasan keamanan Israel tampaknya sudah usai.
Perang ini, dan lingkungan strategis yang timbul darinya, memaksa rezim zionis harus memasuki hari-hari gelap berhadapan dengan perlawanan rakyat semesta. Sebuah rakyat Palestina yang siuman dari tidur panjang perundingan telah siap terjaga. Dan rakyat ini, berjilbab atau tidak, shalat atau tidak, Muslim maupun Nasrani, bahkan tidak sedikit juga yang beragama Yahudi, tak akan membiarkan kesemena-menaan terus berlangsung dan bertekad bulat meraih kemerdekaan. Sekiranya tak ada lagi kemenangan yang bisa diraih, maka ini saja sudah lebih dari cukup untuk membayar lunas semua ongkos pengorbanan jiwa, raga, dan kerugian material yang begitu besar. Sebab, persatuan ini adalah hukum pasti kemenangan. Ia sama pastinya dengan terbitnya matahari pagi di timur lalu tenggelam di barat. Tak ada yang bisa mengubahnya, kecuali perpecahan yang tampaknya sulit untuk diciptakan oleh rezim Zionis dalam waktu dekat ini.
Di samping itu, sebagai sebuah rezim penjajahan, sejak awal Israel selalu menunjukkan wibawa dan kedigdayaan militernya sebagai alat paling menggentarkan musuh. Yasser Arafat yang memimpin puluhan tahun perlawanan bersenjata dari Palestina hingga Tunisia kemudian Lebanon saja takluk tersungkur. Tapi kali ini citra itu sudah mustahil dipertahankan. Keengganan militer Israel melancarkan invasi darat adalah bukti nyata betapa kedigdayaan era 1960-an sampai akhir 1970-an itu telah punah ditelan zaman. Media banyak melaporkan betapa gugupnya militer Israel memasuki daratan Gaza. Terlebih lagi, dalam beberapa perang terakhir, mulai dari 2006 menghadapi Hizbullah di Lebanon hingga 2014 menghadapi kelompok perlawanan Gaza, militer Israel tak pernah berhasil mengulang drama heroik di masa-masa lalu. Dalam dua perang terakhir yang katanya bertujuan menyelamatkan sandera dan meluluhlantakkan infrastruktur militer lawan, terutama kemampuan roket milik kelompok perlawanan, Israel terbukti kandas mengenaskan.
Terakhir, dan ini sering diungkapkan oleh akademisi yang meriset Israel, rezim ini sedang menghadapi disintegrasi serius dari dalam. Di satu sisi, elite politik Israel sedang memasuki titik nadir yang serius. Bayangkan, dalam dua tahun terakhir, Israel telah melakukan empat kali pemilu mandul. Tak ada pemimpin partai, termasuk yang senior seperti Netanyahu, yang berhasil membangun koalisi. Ini karena publik Zionis kian terbelah, dengan meningkatnya blok kanan yang makin ekstrem dan menolak beraliansi dengan blok tengah apalagi kiri. Konstituen seperti ini akhirnya memaksa lahirnya kebijakan-kebijakan yang kian diskriminatif terhadap kelompok yang berbeda etnis, terutama mereka yang disebut sebagai “Arab-Israel”. Arab-Israel ini semula dianggap sudah melupakan sama sekali identitas mereka yang pernah menjadi bangsa Palestina. Tapi situasi terakhir menunjukkan bahwa mereka, yang umumnya tinggal di wilayah pendudukan 1948, bukan saja tidak lupa dengan identitas mereka tapi malah siap bersama-sama komponen Palestina lain melakukan perlawanan sipil dan militer.
Disintegrasi itu diperparah dengan adanya kekecewaan kalangan Yahudi non-kulit putih yang merasa telah menjadi warga kelas dua. Banyak sekali riset dan survei yang menunjukkan kekecewaan mereka lantaran jadi sasaran wajib militer dan dikirim ke tugas berbahaya, lalu diperlakukan berbeda dengan Yahudi kulit putih yang tiap saat bisa meninggalkan Israel dan pergi ke tempat asal di Amerika atau Eropa. Kekecewaan Yahudi Afrika juga menunjukkan kerapuhan jalinan sosial dalam rezim ini. Terlebih lagi tidak ada Yahudi Sefardim yang berhasil menduduki jabatan tinggi dalam rezim Zionis hingga hari ini.
Kesimpulannya, konfrontasi kali ini menghancurkan propaganda paling jorok Zionis sejak 1948 yang mendeklarasikan bahwa rakyat Palestina pada hakikatnya telah mati atau tidur nyenyak atau terbius oleh indahnya demokrasi, pembangunan, kesejahteraan, dan mata biru para penjajah. Babak konfrontasi kali ini menunjukkan bahwa bangsa Palestina dari Sungai Yordania hingga Laut Mediterania benar-benar eksis, bangkit, dan siap melawan. Alih-alih asyik masyuk dengan rezim penjajah, mereka muak dan lelah dengan ketakutan dan hidup penuh diskriminasi. Terbukti, seperti sudah kita sebutkan, rakyat Palestina yang dinamai “Arab-Israel” itu pun tak sudi lagi menerima Israel sebagai negaranya. Perlawanan semesta rakyat seperti ini akan mengguncang penjajah, dan membuatnya tak punya legitimasi apa-apa untuk merepresi. Kalaupun ada represi, maka perlawanan rakyat dapat bergulir menjadi perang sipil yang habis-habisan. Dan seperti kata penyair Palestina, Tamim Barghouthi, jika perang sipil atau perang saudara meletus, maka yang lebih berharta (penjajah) akan jauh lebih merugi daripada warga yang lebih miskin (warga Palestina).
Bagaimanapun, kemenangan besar ini dapat menguap begitu saja dengan munculnya perpecahan dan isu-isu marjinal lain yang dihembuskan. Apa saja dan siapa saja bisa menyumbang dalam konteks ini. Sektarianisme, faksionalisme politik, afiliasi geopolitik, motif ekonomi, dan sebagainya dapat menjadi bahan bakar mengobarkan pertikaian internal yang memupuskan—atau setidaknya menunda-nunda—momen kemerdekaan Palestina. Karena itu, siapa pun, termasuk kita, dapat ikut andil menjaga persatuan tersebut atau sebaliknya.
Sebagai manusia yang hidup dengan atribut atau identitas, kita bisa menyumbang kemerdekaan bangsa Palestina dengan mengajak mereka tetap bersatu untuk tujuan luhur kemerdekaan. Jangan sampai kita menjadi orang yang mengamplifikasi propaganda Zionis dan pendukungnya di satu sisi dan kalangan Arab pro-normalisasi dengan Israel di sisi lain dengan menyatakan bahwa Hamas adalah proksi Iran atau kita katakan bahwa bangsa Palestina sudah nyenyak jangan diganggu-ganggu dengan semangat perlawanan dan kemerdekaan. Seolah-olah bangsa dan rakyat Palestina itu tidak ada. Dan propaganda seperti ini adalah tipikal propaganda agresor penjajah demi memecah-belah bangsa jajahannya. Propaganda serupa dapat kita simak dengan jelas dalam narasi Saudi yang menyatakan bahwa rakyat Yaman itu tidak eksis. Kata mereka, semua yang melawannya di Yaman hanyalah proksi dan boneka Iran. Media pro Saudi senantiasa menjustifikasi agresinya atas Yaman dengan dusta ini. Tujuannya tentu untuk mengaburkan status sebenarnya sebagai agresor dengan menggantinya menjadi pembebas Yaman dari pengaruh Iran. Sungguh ini adalah propaganda keji yang wajib kita cermati dan waspadai.
Sekali lagi kita ingat: jangan mengulang narasi yang dapat mengeraskan pro-kontra di tengah rakyat yang sedang berjuang melawan penjajahan. Bersabarlah sejenak dengan urusan siapa paling berjasa dan nikmatilah kobaran semangat bangsa Palestina meraih cita-citanya yang telah 70 tahun lebih mereka perjuangkan dengan darah orang-orang yang paling mereka sayangi, demi hidup di tanah air yang mereka cintai. Apalagi kita semua orang beriman yang sepenuhnya percaya bahwa kalaupun manusia lupa jasa orang, maka Tuhan tak pernah tidur dan lupa.[]