Cara Abang Sam Menyuap Negara Arab dalam Normalisasi Israel



Delapan belas tahun lalu, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon menerima proposal Arab Peace Initiative. Proposal yang disodorkan Liga Arab ini menawarkan normalisasi dengan dunia Arab. Syaratnya: Israel mundur secara penuh dari wilayah pendudukan hingga garis demarkasi pra-1967;  pengungsi Palestina dipulangkan; dan akhiri konflik dengan solusi dua negara. 
 
Tel Aviv menolak. Proposal kembali diajukan pada 2007 dan 2017 tapi tetap bertepuk sebelah tangan.

Pada tahun 2020, tawaran normalisasi Arab-Israel kembali mengemuka. Kali ini datang dari Washington. Hasilnya, empat negara Arab mengumumkan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel dalam kurun waktu kurang dari empat bulan tanpa harus memberikan apapun kepada Palestina. Ada apa dengan para emir?    

***

Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko mengumumkan normaliasi hubungan diplomatik dengan Israel pada tahun 2020. Mereka menyusul Mesir dan Yordania yang masing-masing telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sejak 1979 dan 1994.

UEA dan Bahrain secara resmi meneken normalisasi dengan Israel dalam sebuah seremoni Gedung Putih, Amerika Serikat, 15 September 2020. Penandatanganan normalisasi diperkenalkan dengan nama ‘Kesepakatan Abraham.’ Abraham, yang dalam Islam disebut Nabi Ibrahim, juga merupakan sosok yang dimuliakan oleh Yahudi dan Kristen.
 
“UEA dan Bahrain memang menormalisasi hubungan dengan Israel secara resmi. Tapi sesungguhnya normalisasi secara diam-diam telah dilakukan sejak dulu,” kata analis politik Yaman Ateq Jarallah seperti dikutip situs berita Turki, Anadolu Agency, 13 Januari 2020. 

Ateq menilai, selain tekanan AS, lemahnya dua negara Arab dan lembaga-lembaga Islam di dalamnya turut memuluskan normalisasi. “Masyarakatnya tidak berada pada posisi menentang normalisasi dan ini dimanfaatkan oleh UEA untuk mengumumkan secara formal hubungan diplomatiknya dengan Israel,” katanya. 

Sementara lembaga riset Vision Center for Political Development berpendapat menguatnya pengaruh Iran di kawasan juga tak boleh dilupakan. Bahkan, ini yang menjadi alasan utama Abu Dhabi dan Manama merepat ke Tel Aviv. 

Pengaruh kuat Iran di Irak, Suriah dan Yaman membuat negara-negara Arab Teluk semakin bergantung pada dukungan dan perlindungan Abang Sam. “Inilah celah yang mungkin membuat AS dapat menekan dan mengkondisikan pemberian layanan jasanya melalui Tel Aviv,” kata Direktur Center fo Politial Development, Ahmed Atawna. 
 
Perlu diingat, katanya, UEA juga ingin punya pengaruh kuat di kawasan. Hanya saja, Abu Dhabi belum melihat dirinya sebagai negara yang memikat di mata internasional. Tidak juga populer di negara-negara Arab dan Islam.

“Dengan menggandeng Israel, UEA berharap pengaruhnya di kawasan melejit sekaligus dapat mengamankan rekam jejaknya ihwal masalah hak azasi manusia di level internasional,” kata dia.

Pada 2019, situs Kementerian Luar Negeri AS mempublikasikan laporan masalah HAM UEA. Mulai dari laporan penyiksaan dalam tahanan, penangkapan sewenang-wenang, pelecehan seksual terhadap asisten rumah tangga asing hingga laporan PBB dan lembaga HAM mengenai terlibatnya UEA dalam agresi koalisi militer Arab Saudi di Yaman yang menewaskan warga sipil.

Kurang lebih itu juga yang terjadi di Bahrain, negara seluas daratan Batam di Teluk Persia. Pada 2011, lembaga pemerhati HAM Human Right Watch menggambarkan kondisi negara ini dengan kata: “suram”.
 
Penyiksaan dan penculikan sudah menjadi jamak di Bahrain. Meski menggunakan tangan besi, Raja Bahrain masih saja merasa was-was dengan munculnya gerakan yang berpotensi mengancam kekuasaannya.

Oleh karena itu, Ahmed bilang, dua negara ini tampaknya ingin dekat dengan AS dan Israel. Setidaknya punya koalisi di kawasan untuk menghadapi setiap potensi berbahaya.

“Hanya saja, mereka tak akan mendapatkannya,” kata Ahmed. Apalagi, selama negara-negara Teluk kaya raya ini memiliki ekonomi, pelayanan kesehatan, pendidikan yang mapan dibandingkan Israel. 

Negara-negara Arab ini yang justru akan menguatkan pengaruh Israel di kawasan. “Israel yang bakal mensabotase mereka seperti kita melihat Mesir dan Yordania tak mendapatkan apa-apa,” ujarnya.
 
Terkait kritik terhadap normalisasi, Abu Dhabi membela diri. Pemerintahan Khalifah bin Zayid Nahyan berdalih Tel Aviv akan menangguhkan rencana aneksasi sebagian besar wilayah Tepi Barat di bawah kesepakatan normalisasi. 

Apapun alasannya, kata Ahmed,  normalisasi tak akan membawa perubahan di kawasan kecuali menjadi pukulan telak bagi warga Palestina. Kesepakatan Abraham semakin mempersempit peluang terwujudnya perdamaian lewat solusi dua negara dan secara signifikan melemahkan posisi politik Palestina. 

Ahmed mengingatkan, normalisasi melabrak dasar proposal Arab Peace Initiative yang disodorkan Liga Arab pada 2002. Proposal ini menawarkan normalisasi hubungan Tel Aviv dengan negara-negara Arab asalkan Israel menarik diri secara penuh dari wilayah pendudukan Gaza, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan dan Lebanon hingga batas demarkasi pra-1967. 

Tapi pada tahun 2020, bagai mendapat durian runtuh, Israel menormalisasi hubungannya dengan negara-negara Arab tanpa harus memberikan apapun kepada Palestina.

Ini juga yang membuat Jakarta menolak normalisasi. Kementerian Luar Negeri Indonesia menilai kesepakatan Abraham hanya buatan Israel dan AS sepihak. Palestina bahkan tak dilibatkan.

“Jadi tujuan damainya untuk kepentingan siapa?” kata juru bicara Kemenlu Teuku Faizasyah kepada Kospy.id, bulan lalu. Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas berterima kasih kepada Presiden Jokowi atas konsistennya mendukung Palestina. Abbas menegaskan perdamaian tak akan tercapai sebelum Israel mengakhiri pendudukannya di tanah Palestina. 
 


***

Di timur laut Afrika, Pemerintah transisi Sudan menerima banjir hutan usai menormalisasi hubungan dengan Israel. Para pemimpin partai politik mengatakan, pemerintah transisi – pascajatuhnya Omar Bashir dari jabatan presiden pada 2019 – tak berhak mengambil kebijakan strategis seperti normalisasi dengan Israel.  

“Mereka pernah bilang akan menyerahkan (urusan normalisasi) kepada parlemen tapi tidak dilakukan,” kata Ketua Partai Nasional Umma Fadlullah Burma.

Politisi Partai Komunis, Kamar Karra, menilai normalisasi merupakan tindakan hina. Pemerintah, kata dia, rela meneken kesepakatan demi mengharapkan santunan Washington.

Ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan normalisasi Sudan-Israel secara resmi pada 23 Oktober, pada hari yang sama Menteri Keuangan AS Stepehen Mnuchin menandatangani kesepakatan dengan perwakilan pemerintah Sudan Nasur Aldin Abdul Bari ihwal pembayaran 1 miliar dolar tunggakan Khartoum ke Bank Dunia.

“Kesepakatan ini akan membuat kesempatan positif bagi Sudan untuk membuka akses pendanaan dalam jumlah yang besar baik di Bank Dunia, IMF dan AS,” kata Menkeu.

Abdul Bari mengatakan, negaranya bertekad melangkah lebih jauh dalam membangun hubungan diplomatik dengan Israel. “Dengan penandatanganan ini, kami menegaskan visi kerjasama kami ialah menguatkan hubungan saling menghormati antara penganut agama-agama Abraham,” katanya.

***

Di Afrika Utara, Maroko resmi menormalisasi hubungannya dengan Israel di penghujung tahun 2020. Kedua negara sejatinya memulai hubungan diplomatik secara resmi sejak 1994. Bahkan sebelumnya, hubungan telah terjalin puluhan tahun lamanya dengan imigrasi orang Yahudi Maroko ke Israel dan pertemuan-pertemuan resmi kedua negara.

Tapi Rabat membekukan hubungannya dengan Tel Aviv pada tahun 2000 menyusul meletusnya intifada kedua di Palestina. Dua puluh tahun kemudian, Donald Trump merajut kembali hubungan keduanya. Di antara kesepakatan ialah AS mengakui kedaulatan Rabat atas Sahara Barat, sebuah wilayah sengketa antara Maroko dan Aljazair di perbatasan Afrika Barat dan Utara. 

Menurut lembaga Sahara and Africa Center for Strategic di Rabat, Maroko punya banyak kepentingan di balik normalisasi. Sahara Barat hanya salah satunya. 

“Rabat juga punya kepentingan untuk memperkuat hubungan dengan warga Yahudi berdarah Maroko yang jumlahnya mencapai 1,5 juta di Israel,” kata Kepala lembaga, Abdel Fattah Elfatihi. Langkah ini dapat membantu Maroko memulihkan ekonomi lewat kebangkitan pariwisata pascapandemi Covid-19. 

Dengan normalisasi, Raja Maroko Mohammed VI juga berharap dapat menarik investasi asing raksasa dan memanfaatkan kecanggihan teknologi Israel untuk pengembangan proyek. 

“Pada tingkat politik, dengan memanfaatkan hubungannya dengan Tel Aviv, Maroko berharap punya peran dalam dialog Palestina-Israel,” katanya. 

Adapun lahan Sahara Barat, lanjut Fattah, akan diserahkan ke investor AS untuk proyek penting. Proyek tentunya diikuti dengan penguatan kerjasama keamanan dengan AS di atas daratan yang sejak 50 tahun lalu itu diwarnai dengan konflik. 

Nah, jika mobilisasi tentara AS dan sekutunya terwujud nantinya, menurut Fattah, “Posisi Maroko di Sahara semakin tak tergoyahkan.”[]


Berbagi artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *