Riyadh: Normalisasi Israel Sangat Bermanfaat bagi Kawasan

 


Menteri Luar Negeri Arab Saudi Faisal bin Farhan Al-Saudi mengatakan, normalisasi hubungan diplomatik negaranya dengan Israel bakal membawa manfaat besar. Setidaknya, kata dia, normalisasi akan banyak membantu Kawasan secara ekonomi, sosial dan keamanan. 

Meski demikian, menurut Farhan seperti dikuitip Middle East Monitor, terwujudnya normaliasi Riyadh – Tel Aviv bergantung pada kemajuan proses perdamian. Dalam kesepakatan damai, Saudi ingin pembentukan negara Palestina berdasarkan batas demarkasi tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. 

“Apa yang ingin kita harapkan terjadi ialah kesepakatan damai yang mewujudkan sebuah negara Palestina yang bermartabat dan dengan kedaulatan realistis yang dapat diterima warga Palestina,” katanya.

Menlu menyampaikan, normalisasi hubungan Saudi dengan Israel telah lama menjadi bagian dari visi Saudi. Ia bilang pemerintahan Raja Salman membayangkan normalisasi terealisasi diikuti dengan terbentuknya negara Palestina berdasarkan batasan geografis 1967. 

Visi Riyadh merupakan salah satu bentuk “solusi dua negara”. Opsi ini mengemuka usai terbitnya resolusi PBB tahun 1972.

Peneliti Timur Tengah Musa Kazhim berpendapat “solusi dua negara” sejatinya hanya merupakan istilah lebih halus untuk menyebut: hanya ada negara Israel. Pada kenyataannya saat ini, Palestina sebagai negara memang tak ada.

“Di mana tanahnya? Di mana pendapatannya? Infrastruktur dan suprastrukturnya sebagai sebuah negara di mana? Entitas negara Palestina itu di mana?” kata peneliti jebolan Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini.

Palestina tinggal puing-puing. Warganya terusir dan menjadi imigran di negeri asing. Sebagian lagi terkurung di Tepi Barat dan Gaza.

Administrasinya yang disebut Otoritas Palestina itu pun dalam genggaman rezim Israel. Bukankah istilah otoritas itu berarti ‘badan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengelola bidang tertentu?’

Oleh karena itu, gaji aparatur dan pendapatan Otoritas Palestina berasal dari Israel. Setiap saat Israel juga dapat mengambil lahan-lahan di Palestina. Padahal sebuah negara setidaknya harus memiliki wilayah dan berdaulat.

Jadi, sebenarnya ‘solusi dua negara’ tidak akan pernah tercapai karena kenyataannya hanya ada satu negara, yaitu Israel. Ini hanya opsi paragmatis yang ingin mengatakan Israel sudah ada, rezimnya telah berdiri dan sudah diakui PBB. “Walhasil, ini harus diterima,” kata Musa.

Sedangkan opsi kedua menyuarakan: solusi radikal. Opsi ini datang dari kebanyakan aktivis dan pemikir nasionalis Arab.

Mereka menginginkan Israel beserta warga negaranya musnah dari muka bumi. Sebagian dari orang itu mungkin ingin memerangi Israel dan membantainya.

“Kelompok yang saya sebut idealis-utopis ini ingin membuang mereka ke laut tetapi kenyataannya ini tidak realistis,” ujar penulis buku Menjawab Provokasi Geert Wilders dengan Cerdas ini.

Kalaupun mereka dapat mewujudkannya, pembantaian akan menambah legitimasi moral bagi Israel. Negara yang pada kenyataanya berstatus ilegal ini bakal mendapatkan dukungan lebih luas untuk mempertahankan diri.

Solusi ini jelas jauh panggang dari api. Tak memiliki basis moral dan kekuatan argumentasi kecuali retorik di media dan mimbar-mimbar aktivis.

Dengan demikian, opsi ini tak punya masa depan seperti ‘solusi dua negara’ yang tak memberikan masa depan bagi Palestina.

Nah, ada lagi pendekatan ketiga yang memberikan jalan tengah. Pendekatan ini menyampaikan bahwa nasib Palestina, warganya dan seluruh wilayah yang kini diduduki Israel diserahkan kepada referendum.

Proses referendum dimonitor badan internasional yang independen. “Dari hasil referendum itulah yang akan kita terima, apapun hasilnya,” tuturnya.

Namun sebelum itu, warga Palestina yang terusir mesti dipulangkan. Setiba di Palesitna, tanah-tanahnya yang pernah diambil sejak 1984 dikembalikan. Hak sosial dan politiknya dipulihkan sehingga mereka menjadi warga negara berdaulat dan dapat memberikan pendapatnya secara independen.

Setelah itu, barulah referendum digelar. Apakah mereka mau kembali ke pangkuan rezim lama yang telah mengusir mereka atau menginginkan negara baru yang mereka cita-citakan.

Lalu bagaimana dengan warga negara Israel yang terlanjur berdiam di sana menurut pendekatan ketiga ini? Mereka, kata Musa, adalah pendatang dan tidak bisa disebut warga negara setempat lantaran negara Israel berdiri secara tidak sah. “Israel adalah entitas penjajah, keberadaannya merupakan hasil korupsi bangsa dan negara orang lain,” ujarnya.

***

Delapan belas tahun lalu, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon menerima proposal Arab Peace Initiative. Proposal yang disodorkan Liga Arab ini menawarkan normalisasi dengan dunia Arab. Syaratnya: Israel mundur secara penuh dari wilayah pendudukan hingga garis demarkasi pra-1967;  pengungsi Palestina dipulangkan; dan akhiri konflik dengan solusi dua negara. 

Tel Aviv menolak. Proposal kembali diajukan pada 2007 dan 2017 tapi tetap bertepuk sebelah tangan.

Pada tahun 2020, tawaran normalisasi Arab-Israel kembali mengemuka. Kali ini datang dari Washington. Hasilnya, empat negara Arab -Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko – mengumumkan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel dalam kurun waktu kurang dari empat bulan tanpa harus memberikan apapun kepada Palestina.[]    


Berbagi artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *