Pemerintah Inggris mengerahkan pasukan militernya ke Arab Saudi tanpa izin dewan perwakilan rakyat. Kebijakan diam-diam itu pun menuai kecaman.
“Laporan soal Pemerintah mengirimkan tentara ke Saudi secara tak transparan mencerminkan kebijakan kotor,” kata juru bicara urusan luar negeri Partai Demokrat Liberal Layla Moran kepada media setempat, The Independent, 28 November 2020.
London beradalih pengiriman tentara dari unit militer 16th Regiment Royal Artillery demi membantu keamanan perusahaan minyak Saudi. Salah satu petinggi Kementerian Pertahanan James Heappey mengiyakan laporan tersebut.
Ia bilang, penempatan personil militernya di sana murni untuk membantu Saudi yang sedang menghadapi ancaman nyata. Ia merujuk pada pesawat tanpa awak Yaman berhasil menembus sistem pertahanan Riyadh dan menembak fasilitas perusahaan minyak Saudi, Aramco, di Abqaiq dan Khurais, pada September silam.
“Menyusul serangan udara ke fasilitas produksi minyak Kerajaan Saudi pada 14 September 2019, kami harus bekerja sama dengan Menteri Pertahanan Saudi dan berbagai elemen internasional untuk memikirkan bagaimana menguatkan pertahanan infrastruktur ekonomi yang krusial ini,” kata seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Inggris yang tak disebutkan namananya.
Menurut Kementerian, penempatan tentara di sana termasuk bagian dari pengembangan sistem radar militer untuk mendeteksi serangan drone. Menurutnya, tentara Inggris telah mendampingi penempatan sistem pertahanan radar Giraffe di Riyadh. Tapi pihak otoritas enggan merinci periode waktu penempatan dan jumlah personil yang terlibat.
Juru bicara hanya menyebut penempatan masih sedang berlangsung hingga akhir November dan sejauh ini telah menyedot duit negara 840.360 pound sterling atau lebih dari 15,8 miliar rupiah.
The Independent telah meminta alasan Pemerintah mengambil langkah itu tanpa memberitahukan wakil rakyat atau publik. Tapi pihak Kementerian tak menjawabnya.
Penyerapan anggaran itu, kata Moran, telah memotong pembiayaan untuk warga yang paling membutuhkannya. Reputasi pemerintah juga tercoreng gegara terlibat dalam krisis kemanusiaan di Yaman.
“Menteri harus datang ke parlemen dan menjelaskan dasar putusan ini diambil, dan mengapa warga Inggris tidak diberitahu,” ujarnya.
Lembaga internasional penanggulangan bencana berbasis di London Oxfam juga mengkritik negara penjual senjata ke Arab Saudi. Menurut organisasi nirlaba ini, ekspor amunisi ke Riyadh telah menyeret warga Yaman ke dalam derita berkepanjangan.
“Mencari untung banyak dari jualan senjata yang menyebabkan perang sembari memberi sedikit bantuan ke Yaman merupakan sikap aneh sekaligus cacat moral,” kata Direktur Oxfam Yaman, Muhsin Siddiquey, seperti dilansir Middleesatmonitor.com, 18 November 2020.
Sejak Maret 2015, koalisi militer yang dipimpin Saudi membombardir tetangganya, Yaman, melalui serangan udara. Agresi selama lima tahun itu, menurut lembaga dunia PBB, telah memicu malapetaka kemanusiaan. Selain hancurnya sekolah, rumah sakit dan fasilitas publik, jutaan warga Yaman termasuk anak-anak dan perempuan kini di bawah bayang-bayang krisis pangan, malnutrisi dan kelaparan.
Sementara angkatan bersenjata Yaman masih berupaya mempertahankan wilayahnya dari serangan yang juga disokong Amerika Serikat itu. Pada 23 November 2020, rudal Quds-2 dari Yaman melesat jauh ke kedalaman Saudi dan kembali mengenai fasilitas Aramco di Jeddah.[]