Hanya Kematian yang Bisa Hentikan Kami

Seorang pria duduk bersila di atas sofa yang di bawahnya berlantai motif bunga, sebuah keffiyeh terbungkus rapat di wajahnya untuk melindungi identitasnya.

Dia adalah seorang pejuang perlawanan yang tinggal di kamp pengungsi Jenin – tempat invasi dua hari yang kejam dan mematikan oleh pasukan Israel awal bulan ini – dan itulah mengapa dia tidak mau mengambil risiko dengan membuka identitasnya.

Lengannya yang kekar membawa senjata otomatis besar, badannya yang berkilau kontras dengan interior apartemen yang gelap. Tangannya melingkari erat gagang senapan dengan jari pelatuknya terulur.

Namun di balik sosok petarung yang tangguh dalam pertempuran itu terdapat seorang pria yang pernah bermimpi memiliki kehidupan normal, kehidupan yang hanya dilihatnya sekilas melalui perangkat TV.

Pria berusia 29 tahun itu pernah bekerja untuk pemerintah daerah sebelumnya, tiga tahun lalu, dia bergabung dengan perlawanan bersenjata terhadap pendudukan Israel di tanah airnya di Palestina.

“Kami tidak tahu apa-apa tentang kehidupan di luar kamp Jenin,” kata si pejuang, yang tidak ingin disebutkan namanya karena alasan keamanan, tentang kehidupannya sebelum bergabung dengan perlawanan. “Kami belum pernah melihat kolam renang atau laut dalam hidup kami.”

Pada tanggal 2 Juli, Israel melancarkan serangannya ke kamp tersebut, dalam upaya – katanya – untuk membasmi “teroris” yang telah menguasai daerah tersebut, yang menampung sekitar 14.000 orang. Militer Zionis membombardir daerah itu dengan drone peledak dan rudal yang ditembakkan dari pesawat tak berawak sementara ratusan tentara menggerebek kamp tersebut. Petarung itu mendapati dirinya berada di tengah-tengah aksi.

“Kami hanya memiliki senjata ringan. Mereka [pasukan Israel] melakukan invasi besar-besaran. Mereka ingin menghalangi kami,” katanya blak-blakan.

Dia mengingat serangan tanpa henti. Satu kenangan tetap tertanam dalam benaknya, sebuah rudal yang menurutnya menyerang sekelompok 20-30 pejuang dan melukai 17 lainnya.

Dua belas warga Palestina, termasuk tiga anak, tewas dalam serangan di kamp tersebut.

Namun, dia bersikukuh bahwa rencana Israel untuk menakut-nakuti para pejuang dan masyarakat luas tidak berhasil.

Berbicara dengan nada cepat dan tak tergoyahkan, pejuang itu sebagian besar menolak pertanyaan yang tidak terkait dengan perlawanan bersenjata dan mengungkapkan sedikit emosi.

“Kami tidak akan terhalang. Hanya kematian yang bisa menghentikan kami. Mereka bisa membunuh kami, dan dalam hal ini kami siap menjadi martir.” [SHR]

Berbagi artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *