Indonesia sejauh ini berhasil meredam tekanan untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Jakarta juga dinilai mengambil langkah cerdas sehingga tak termakan janji manis Tel Aviv.
Apresiasi tersebut disampaikan Koordinator Komite Solidaritas Palestina dan Yaman (Kospy) Musa Kazhim dalam Webinar ‘Masa Depan Palestina’, 30 April 2022. Menurut Musa, upaya Israel membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia sudah dilakukan sejak masa Orde Baru.
Namun usaha tersebut masih jauh panggang dari api. Indonesia yang diwakili Kementerian Luar Negeri berhasil menjadikan tekanan hanya sebagai api dalam sekam. Ini juga dapat berarti: tak seorang pun yang dapat memustahilkan normalisasi Indonesia-Israel terjadi suatu saat nanti. “Tetapi minimal per hari ini tak terjadi,” ujarnya.
Nilai yang dijanjikan dapat ditengok, misalnya, pada tahun 2020. Saat itu, Amerika Serikat menjanjikan bantuan sebesar 28 triliun rupiah untuk Indonesia. Syaratnya, Jakarta menormalisasi hubungan diplomatik dengan Tel Aviv.
“Tapi ternyata, baik iming-iming maupun ancaman, tidak dapat merubah kebijakan Indonesia terkait Israel,” kata Musa. “Ini yang perlu kita apresiasi, khususnya kepada Kemlu RI.”

Padahal tekanan ini telah banyak merobohkan negara-negara Arab. Pada tahun 2020, Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko dan Sudan akhirnya mengumumkan normalisasi dengan Israel.
Mereka menyusul Mesir dan Yordania yang masing-masing telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sejak 1979 dan 1994. Walaupun pada kenyatannya, Kairo dan Amman hingga kini tidak mendapatkan manfaat dari Israel seperti yang dikampanyekan pendukung normalisasi. Mereka justru mengalami kehancuran ekonomi dan krisis politik dalam negeri pascanormalisasi dengan Israel.
Sebaliknya, Indonesia lebih cerdas sehingga tak masuk dalam jebakan Israel. Bahkan dalam kasus operasi militer Rusia di Ukraina, Indonesia berani berhadap-hadapan dengan Paman Sam. Jakarta menolak permintaan Washington dan sebagian negara Barat agar tidak mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin ke Bali menghadiri KTT G-20.
“Seolah Indonesia menyampaikan ke Amerika: bahkan kepada kamu pun saya tak mau ditekan. Ini menunjukkan posisi Indonesia semakin menguat,” katanya.
Perlu Waspada
Pembicara Webinar lainnya, Direktur Eksekutif Global Future Institute, Hendrajit, sependapat dengan Musa. Indonesia tak memerlukan manfaat apapun dari Israel. Apalagi penolakan terhadap normalisasi didukung masyarakat Indonesia.

Meski demikian, Hendrajit mewanti-wanti agar Indonesia tetap waspada. Pasalnya, Inggris – yang dalam sejarahnya biang kerok terjajahnya Palestina -, merupakan ahlinya perancang destabilisasi.
Inggris mampu menciptakan kekisruhan melalui target-antara (intermediate target). Ia mencontohkan keterlibatan London di balik peristiwa 1965 di Indonesia hingga lengsernya Soekarno.
Dalam kasus tersebut, menurut Hendrajit, Inggris-lah yang memiliki ide dan Amerika Serikat yang menjalankan oprasionalnya. Sementera Partai Komunis Indonesia (PKI) hanya target-antara.
“Yang ditakutkan sebenarnya bukan komunisme, tapi nasionalisme anti-kolonial yang dibalik itu adalah skema anti-kapitalisme global, sebuah gagasan dari Soekarno,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Hendrajit, impian Israel menggandeng tangan Indonesia dalam waktu dekat ini memang tak realistis. Namun Indonesia mesti berhati-hati dengan efek-domino dari munculnya destablisasi yang tak terduga.
Dalam webinar ini, Hendrajit juga menguraikan strategi Inggris mengacak-acak Timur Tengah, utamanya Palestina, pasca-Perang Dunia I. Ia menjelaskan sepak terjang Sir Mark Sykes, munculnya Arthur Balfour, hingga Zionisme Yahudi yang berambisi memiliki negara sendiri.
Alhasil, webinar yang digelar oleh Ikatan Alumni Jamiah Almustafa (IKMAL) ini memantik peserta untuk berdiskusi dengan para pembicara. Selain Musa dan Hendrajit, hadir juga Ketua STAI Sadra Jakarta, Khalid Alwalid, yang memaparkan pentingnya kontra-narasi terhadap normalisasi.
Ketua IKMAL, Abdullah Beik, berharap webinar seperti ini dapat mencerahkan masyarakat Indonesia terkait penjajahan Israel terhadap Palestina. “Semoga ini menjadi bagian dari kontribusi kami sebagai insan akedemisi di Indonesia dalam membangun solidaritas untuk Palestina,” kata Abdullah.[]