Lembaga pembersih ranjau dan sisa bom kluster di Yaman, National Center for Mine Action, terancam berhenti bekerja karena tak mendapatkan dukungan dana. Hal ini disampaikan Kepala Lembaga, Brigadir Jenderal Ali Safra, Sabtu, 29 Januari, seperti dilaporkan Kantor Berita Yaman, YPA.
Safra mengatakan, lembaganya telah membuka jalan-jalan utama setelah membersihkannya dari ranjau dan sisa bahan peledak sejak 14 November silam dengan peralatan sederhana.
Namun sampai berita ini diturunkan, kerja kemanusiaan National Center for Mine Action ini belum mendapatkan dukungan dana dari PBB. Alasannya, lembaga ini tidak memenuhi persyaratan kelengkapan alat kerja lapangan.
Bahkan untuk kegiatan survei non-teknis tidak mendapatkan dukungan dana dari UNDP PBB di Sanaa. Hanya terbatas di Aden saja, itupun daerah di bawah kekuasaan Pemerintahan Penyalamatan Nasional dikecualikan.
Survei non-teknis merupakan semacam asesmen dan analisis medan sebelum beranjak pada survei lapangan yang lebih beresiko dan berbiaya tinggi. Meski demikian, Safra mengatakan, lembaganya tetap melakukan survei non-teknis dengan upaya sendiri.
Menurut Safra, distrik Al-Mina, Al-Hawk, Al-Hali, Al-Durayhimi, Al-Tuhita, Beit Al-Faqih dan Zabid mewakili 80 persen area yang masih tercemar sebaran bom kluster, ranjau dan sisa perang lainnya. Estimasi luasnya sekitar 140 juta meter persegi, termasuk ratusan desa dan pusat-pusat permukiman di dalamnya.
Ia bilang, luasan dan masalah bom kluster di Yaman sangat besar, khususnya di Hodeida. “Kami menerima banyak permohonan untuk mengangkat jenazah korban ledakan sisa bom kluster atau ranjau, atau mengavakuasi korban luka,” ujarnya. Jumlah korban jiwa akibat sisa bom dan ranjau mencapai 150 hanya dalam tiga bulan, catatan yang membuat lembaga mitra kemanusiaan di provinsi-provinsi menyerukan peningkatan upaya pembersihan dan penyelamatan.
Lembaga dalam PBB, OCHA, pernah mengumumkan dukungannya sebesar 1,5 juta dolar pada tengah Desember silam. Bantuan itu diperuntukkan membantu pembersihan ranjau dan bom kluster di Hodeda. Namun sampai hari ini, kata Safra, tim perbersih ranjau di lapangan belum menerimanya.
Sementara total korban meninggal di Yaman diperkirakan mencapai 500 ribu sejak agresi melanda negara ini pada Maret 2015. Ketika itu, Riyadh dan koalisi militernya yang didukung penuh oleh Amerika Serikat meluncurkan perang melawan negara termiskin di Asia Barat ini.
Mereka menyerang tetangganya di bagian selatan itu lantaran ingin mengembalikan penguasa boneka Abdu Rabbuh Mansour Hadi di Sana’a. Koalisi juga berhasrat menghancurkan kelompok perlawanan di Yaman, Houthi Ansarullah.
Jutaan masyarakat Yaman terancam bencana kelaparan akibat lulu lantaknya infrastruktur dalam negeri.
Walau telah memorakporandakan negara lain, Saudi belum juga mencapai tujuannya. Bahkan dengan perkembangan poros perlawanan yang dibantu angkatan bersenjata Yaman, menurut berbagai pengamat, Saudi hampir mustahil menduduki Sanaa.[]