Shatha dan Dinginnya Penjara Israel


Jarum jam menunjukkan pukul 2 malam ketika rombongan tentara Israel menggerebek kediaman Shatha Hasan di Kota Ramallah. Dengan tangan terborgol, gadis 21 tahun itu digelandang keluar rumah, menuruni tangga, melewati dinginnya Tepi Barat, Palestina.

“Allah bersamamu, Nak!” teriak ibu Shatha dari balik jendela. Seorang serdadu di pekarangan rumah segera menyoroti sumber pekikan itu dengan lampu senter.

“Doakan saya, Bu!” sahut sang putri sebelum dibawa masuk ke dalam kendaraan beroda empat.      

Iring-iringan kendaraan lalu membawa mahasiswi Universitas Birzeit Palestina itu ke kamp militer Benjamin. Setibanya di kamp, mereka melemparnya ke ruang gelap. Tangannya masih terborgol dan matanya ditutup. Malam jahanam itu terjadi pada 12 Desember 2019.

Setelah beberapa jam, mereka memindahkannya ke Penjara Ofer, Haifa, utara Israel, sekitar dua jam perjalanan dari Ramallah. Di sana, ia dijebloskan ke dalam sel remang-remang, pengap dan tanpa kamar kecil.

Perempuan bernama lengkap Shatha Hasan Abdul Majid Hasan ini lalu menjalani interogasi. Selama dua jam, petugas mencecarnya pertanyaan seputar keterlibatannya dalam sebuah organisasi terlarang di kampusnya. 

Dari ruang interogasi di Haifa, mahasiswi tahun keempat Birzeit itu dipindahkan ke Rutan Hasharon, Kota Even Yehuda, 50 km dari selatan Ofer.  Terakhir, Shatha dikembalikan ke Haifa dan mendekam di penjara Damon, dataran tinggi Karmel. 

“Kamu kedinginan?” tanya Tasneem, adik perempuan Shatha ketika pertama kali menemui kakaknya di tempat sidang. Dengan gerakan tangan dan senyuman Shatha, kata Tasneem, “Kami tahu betapa ia sangat kedinginan.”  

Sebulan setelah penangkapan Shatha, tentara Israel kembali mengepung kediaman Shatha dan mengambil saudaranya, Abdul Majid.  Ia dibawa ke pusat interogasi Almaskobiyah di Yerusalem. Di sana, pemuda 19 tahun ini dikurung selama sebulan. Setelah menjalani pemeriksaan, Israel melepaskan Majid.  

Tapi itu belum cukup. Israel lagi-lagi mendatangi rumah Shatha. Kali ini mereka membawa pergi saudaranya yang lain, Mohamed.    

Pada 21 Februari 2020, Pengadilan Ofer menghukum Mohamed 14 bulan penjara dan denda 1800 dolar dengan tuduhan terlibat aktivitas terlarang di kampusnya, Universitas Birzeit. “Saya menerima kabar bahwa adik saya ditangkap ketika saya masih di dalam tahanan,” kata Shatha kepada Anadolu Agency, 16 April 2021. 

Shatha akhirnya menghirup udara bebas pada 21 Mei 2020. Ia diterungku Israel lima bulan setelah didakwa terlibat gerakan Kelompok Perlawanan Hamas di kampusnya.    

Selain Shatha, dua saudaranya merupakan mahasiswa Birzeit. Kampus dan rumah mereka berjarak 13 kilometer. Institusi pendidikan yang berdiri tahun 1924 ini – 24 tahun lebih tua dari Israel – telah lama dikenal sebagai sarangnya mahasiswa aktivis.

Tel Aviv menilai kebanyakan mahasiswanya terlibat dalam gerakan kelompok perlawanan Hamas dan Persatuan Pelajar Progresif Demokratik, organisasi kiri di Birzeit. Keduanya telah dinyatakan secara resmi sebagai perkumpulan terlarang oleh Pemerintahan Benjamin Netanyahu.

Meski demikian, Shatha dan rekan aktivis mahasiswi lain mengaku aktif dalam kegiatan kemanusiaan; bukan kegiatan terorisme dan kekerasan seperti tuduhan Israel. Shatha menyelenggarakan berbagai program dengan rumah sakit, panti asuhan dan tunawisma. 

“Sebelumnya, saya tidak percaya Israel bakal menangkap saya gara-gara terlibat aktivitas kemanusiaan,” ujarnya. Dugaan Shatha ternyata meleset.

Selama sepuluh tahun terakhir, Israel telah memenjarakan 414 mahasiswa kampus negeri itu. Seperti Shatha, mereka diinterogasi, diadili secara sepihak sebelum diseret ke balik jeruji. 

Secara keseluruhan, menurut Komisi Bidang Tahanan Otoritas Palestina, estimasi jumlah tahanan orang Palestina di Israel mencapai 4.400 termasuk 39 wanita,  155 anak-anak. Di antara mereka berusia lanjut dan dalam keadaan sakit.

“Orang Palestina ditahan tanpa proses peradilan,” kata Kepala Komisi Qadri Abu Bakr.

Menurut Shatha, orang tuanya termasuk jebolan aktivis di Universitas Birzeit. Lantaran aktivitasnya di Kampus, perempuan tua yang memekik “Allah Bersamamu” dari balik jendela itu juga pernah merasakan dinginnya lantai penjara Israel. Ayah Shatha bahkan meringkuk 10 tahun dalam tahanan. 

“Setelah 30 tahun lebih, hari ini giliran kami yang diperlakukan serupa oleh Israel,” ujar Shatha. []

Berbagi artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *