Enam Tahun Menginvasi Yaman, Saudi Bisa Apa?


Seratus burung besi beterbangan di langit Yaman pada malam 26 Maret 2015. Tepat pukul 2 dini hari, jet tempur koalisi militer Arab Saudi itu melesatkan misilnya ke daratan Sanaa, Aden, Taizz, dan Saada.

Sementara di Washington, Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat Adel Jubair menggelar jumpa pers. Ia mengumumkan serangan militer ke Yaman telah dimulai. 

“Operasi ini untuk melindungi pemerintahan Yaman yang ‘sah’ dan mencegah gerakan radikal Houthi mengambil alih negara,” kata Jubair.

‘Pemerintah sah’ versi Saudi merujuk pada administrasi di bawah Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi, penerus presiden Yaman sebelumnya Ali Abdullah Saleh. Selama masa kepemimpinan keduanya, Sanaa berteman baik dengan Riyadh. 

Pada 25 Maret 2015, Hadi dilaporkan melarikan diri ke Riyadh di tengah prahara politik dalam negeri buntut gelombang demonstrasi rakyat Yaman yang berujung revolusi. Keesokan malamnya, Saudi bersama 10 negara dalam koalisi membombardir Yaman. 

Bandar udara Sanaa tak lepas dari sasaran. Setidaknya 18 warga sipil terbunuh dan 24 lainnya luka-luka di Ibu Kota Yaman tersebut.

Pasukan Raja Salman diprediksi bakal menduduki Sanaa dengan cepat. Apalagi Koalisi mendapatkan dukungan dari Paman Sam di bawah pemerintahan Barack Obama-Joe Biden.  

Tapi kelompok perlawanan di Yaman, Houthi Ansarullah, menolak menyerah. Intervensi militer Saudi ke dalam negerinya, bagi Hotuhi, merupakan agresi yang harus dilawan. Sejak malam itu hingga enam tahun kemudian, Riyadh belum mampu menduduki Sanaa.

“Mereka mengira serangannya akan berlangsung dengan cepat, Houthi segara menyerah dan akan terjadi restori pemerintahan baru yang didukung oleh Barat dan Saudi,” kata analis politik Timur Tengah Musa Kazhim Alhabsyi kepada Kospy.id, 26 Maret 2021 “Ternyata ilusi itu dengan cepat sirna.”

Selama Pemerintahan Presiden AS Donald Trump pun, Riyadh tak mampu merubah keadaan. Padahal Trump menyokong Pemerintahan Raja Salman habis-habisan. 

Sepanjang 2015 hingga 2019, 75 persen impor senjata Saudi berasal dari AS. Di penghujung pemerintahannya, Trump juga mengumumkan masuknya Houthi dalam daftar kelompok teroris. 

Namun setelah Trump lengser, Presiden AS Joe Biden mengumumkan penarikan dukungan terhadap agresi di Yaman. Musa mengatakan, putusan Biden merupakan cermin gagalnya agresi. 

“Biden tahu berapa pun banyaknya senjata yang diberikan, Saudi tidak punya kemampuan mengalahkan Houthi,” ujar peneliti jebolan Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini.  “Houthi merupakan kelompok masyarakat asli Yaman, turun temurun di sana dan oleh karena itu mereka menguasai medan.” 

Andai saja agresi ini dilanjutkan 10 tahun lagi, kata Musa, Biden tidak melihat peluang Saudi memenangkan perang. Di sisi lain, AS menyoroti akibat tragis dari agresi setengah dekade lebih ini. 

Invasi militer Saudi telah menyeret negara berpenduduk 29 juta itu jatuh ke dalam krisis kemanusiaan terparah abad ini. Lembaga kemanusiaan Humanity Eye Center for Rights and Development melaporkan, korban jiwa akibat agresi enam tahun mencapai 43.593 ribu jiwa seperti dilansir Yemen Press Agency, 23 Maret 2021.


Korban tewas berjumlah 17.079 yang di antaranya 3.821 anak dan 2.394 wanita. Sementara korban luka-luka 26.496 jiwa.

Infrastruktur publik pun ikut hancur: 15 bandar udara; 16 pelabuhan; 1.102 sekolah dan instansi pendidikan; 390 rumah sakit dan fasilitas kesehatan; dan lain sebagainya. 

Kementerian Kesehatan Yaman mengumumkan 1,8 juta wanita menderita malnutrisi dan mengindikasikan 2,6 juta anak usia di bawah lima tahun mengalami kekurangan gizi akut. Warga kesulitan mendapatkan bantuan pangan dan obat-obatan lantaran blokade yang diberlakukan Riyadh.  

Nestapa warga Yaman, bagi Biden, telah mencoreng Pemerintahan AS. Washington akhirnya menarik dukungan dari agresi yang membuat Saudi harus berhadapan dengan AS secara politik. 

Mundurnya negara pendukung terkuat koalisi membuat Riyadh di ujung tanduk. Kegagalan militer di Yaman disusul dengan kegagalan strategis dan politik.

“Selain itu, Saudi sebagai negara Islam kehilangan muka secara moral karena hanya mampu merusak bangsa Arab-Islam yang paling miskin,” katanya. “Jadi ini kekalahan Saudi dari seluruh dimensi.”   



Berbagi artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *