Israel: Kolonialisme, Rasisme, dan Fanatisme


Israel: Kolonialisme, Rasisme, dan Fanatisme
DEKLARASI Balfour pada 2 November 1917 yang diteken Menteri Luar Negeri Kerajaan Inggris Arthur James Balfour untuk Walter Rothschild, taipan Yahudi dan pemimpin komunitas Zionis di Inggris, merupakan fondasi bagi kelahiran negara Israel pada 14 Mei 1948. Deklarasi Balfour juga pernyataan dukungan resmi pertama sebuah negara kepada Zionisme.
Selain Balfour, arsitek lain deklarasi itu adalah ahli biokimia Yahudi kelahiran Belarus, Chaim Weizmann (kelak menjadi presiden pertama Israel). Weizmann tokoh Zionis berpengaruh di dalam Kabinet Perang Inggris. Tak sedikit politisi elite Inggris saat itu yang menjadi sekutu Weizmann, tak terkecuali Balfour.
Pada saat yang sama, Kristen-Zionisme mendominasi pandangan politik elite di Inggris. Mereka memandang pendirian negara Yahudi merupakan prasyarat bagi kebangkitan kedua Yesus di muka bumi.
Meskipun demikian, mereka juga menganggap orang Yahudi sebagai “duri dalam daging” di tengah masyarakat Kristen Eropa. Bagi mereka, gagasan negara Yahudi di Palestina seperti pepatah “sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui”.
Karena itu, menurut sejarawan Inggris, Mary Grey, Deklarasi Balfour memenuhi tiga kepentingan sekaligus: (1) kepentingan kolonialisme Kerajaan Inggris; (2) kepentingan Kristen-Zionisme; (3) dan kepentingan gerakan Zionis internasional. Pada 1917 atau satu tahun menjelang berakhirnya Perang Dunia I, Palestina menjadi wilayah kunci yang bisa menghubungkan wilayah-wilayah jajahan Kerajaan Inggris dari Samudera Atlantik hingga Samudera Pasifik.
Alhasil, Deklarasi Balfour adalah adonan sempurna dari proyek kolonialisme, rasisme, dan fanatisme berjubah agama. Buah dari adonan itu adalah Israel.
Bak “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, Israel mewarisi praktik kolonialisme Barat di Palestina.
Rezim Zionis menerapkan sistem apartheid. Penduduk Palestina dan non-Yahudi di Israel hanya warga negara kelas dua. Mereka tak bisa menikmati sejumlah hak sipil dan politik yang dijamin oleh hukum internasional dan lazim berlaku di sebuah negara demokrasi.
Di Tepi Barat, Israel terus mencaplok tanah Palestina demi membangun permukiman ilegal bagi imigran Yahudi. Kebijakan ini melanjutkan apa yang telah dinyatakan dalam Deklarasi Balfour: menerima orang asing dan mengingkari penduduk asli.

Sementara itu, di Jalur Gaza, Israel menerapkan praktik penghukuman kolektif: memblokade, mengagresi, dan menjadikannya “penjara terbuka terbesar di Bumi”. Israel juga terus menolak hak menentukan nasib sendiri dan hak pulang bangsa Palestina.[]

Berbagi artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *