Pertemuan saya dengan isu Palestina bermula dari Dunia Dalam Berita, sebuah program berita di TVRI yang begitu terkenal di tahun 80-an hingga awal 90-an sebagai jendela dunia yang suka saya tonton, diselingi obrolan Bapak dan Ibu membicarakan Palestina yang saya dengar saat sedang menonton Dunia Dalam Berita di usia sekitar 10 tahun.
Melalui layar televisi cembung berwarna hitam putih, saya menyaksikan anak-anak Palestina berlari dan melempari pasukan Israel dan gencarnya pembangunan rumah pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan batu. Sebagian dari mereka menggunakan ketapel dengan wajah bersarung ala ninja.
Tidak jarang saya melihat korban luka-luka dan mayat warga Palestina, termasuk anak-anak Palestina yang turut menjadi korban, ditandu, diiringi air mata serta tangis histeris keluarga dengan tangan diangkat ke atas dan ke bawah disertai wajah menengadah ke udara. Dunia di mata saya seketika gelap dan pedih. Saya menyaksikan ungkapan perasaan yang memilukan.
Adegan itu begitu membekas dan meremas perasaan saya. Mungkin itulah pertama kalinya saya meresapi konsep penindasan, merasakan empati terhadap penderitaan orang lain, dan kemudian mulai ikut-ikutan memeram jiwa perlawanan.
Di kemudian hari saya mengetahui apa yang kerap saya tonton itu dikenal dengan sebutan “Children of Stones” sebagai pemicu gerakan Intifada 1 yang berlangsung pada 1987-1993. Dunia Dalam Berita mengulang-ulang adegan tersebut begitu rutin. Sebagaimana senyum sungging Yasser Arafat, pemimpin PLO dengan tudung kepalanya berbalut kafiyeh yang khas ditambah seragam hijau militernya yang ganjil sebab badannya yang kian tambun, semua tontonan itu tersimpan di laci memori generasi saya.
Sebagai bagian dari generasi yang hidup di dua zaman yakni sempat merasakan hidup sebelum internet berkembang dan setelahnya, saya merasa beruntung. Saya masih sempat merasakan bagaimana hidup sehari-hari tanpa internet, laptop, dan telepon genggam yang pada satu sisi memberi begitu banyak manfaat dan kemudahan namun pula telah begitu rupa memasuki ruang hidup kita yang paling privat dan mengambil banyak perhatian kita.
Saya masih dapat merasakan unsur ‘sakral’ mencari dan menanti informasi tentang dunia yang ingin saya pahami melalui usaha yang lebih keras dibanding era internet ketika segalanya begitu mudah dan cepat, bahkan tumpah-ruah menandai era yang disebut sebagai fenomena ‘information spillover’ namun sering begitu dangkal disertai jebakan penyesatan dan disinformasinya yang tak kalah hebat.
Dahulu kita masih bisa begitu khusyuk merasakan suara, raut wajah, emosi dari sebuah berita dan peristiwa nyata yang saya tunggu melalui layar televisi maupun siaran radio dan tak bisa serta-merta saya hadirkan untuk saya ketahui seperti era kini. Ada kesempatan lebih longgar untuk memahami konteks, menarik pelajaran dan bersikap reflektif. Ketika suguhan tentang dunia masih begitu sedikit, kita masih sempat menghayati fragmen gambar dan kata-kata yang disampaikan, sampai kita menjadi emosional dan baper.
Berita dan informasi tentang penjajahan di Palestina adalah salah satu isu monumental yang mengiringi usia saya dan cara saya melihat dunia ini sampai sekarang dan membuat saya belajar mengenal bagaimana dunia harus saya pahami.
Palestina membuka perhatian saya terhadap Timur Tengah. Kompleksitas antara kolonialisme dan penggunaan sentimen agama di Timur Tengah terutama peran kolonial Inggris dalam Perjanjian Balfour sebagai dokumen kolonialisme yang mengizinkan persatean Timur Tengah dan politik apartheid melalui zionisme. Semua saya pelajari melalui perhatian saya terhadap Palestina sejak kecil dan mungkin banyak perhatian orang lain dari generasi saya. Jauh lebih penting lagi, ada sesuatu yang emosional yang saya pelajari dari Palestina yakni sentuhan untuk belajar menjadi manusia dengan turut merasakan penderitaan orang lain nun jauh di sana.
Kemudian hari bacaan saya terhadap Palestina berkembang. Saya mengetahui bahwa isu Palestina bukan isu agama seolah Yahudi melawan Islam melainkan justru isu semua agama yang mengakui dan berserah diri kepada Tuhan yang satu dan ajarannya yang memuliakan kemanusiaan. Palestina adalah isu semua manusia merdeka yang menolak penjajahan, perampasan tanah dan pembersihan etnis melalui serangkaian genosida yang telah berlangsung selama 70 tahun.
Seperti kita ketahui, sejarah perlawanan Palestina termasuk Intifada I dan II digerakkan oleh pelbagai elemen bukan hanya Islam, namun Kristen, Yahudi anti-zionis bahkan partai komunis di Palestina. Selain pejuang Palestina dari Islam, kita mengenal tokoh pejuang Palestina yang berasal dari Kristen Ortodoks seperti George Habash, pendiri Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina. Nama lain yaitu seorang Kristen Palestina yang tajam melawan zionisme seperti Edward Said, seorang Yahudi seperti Noam Chomsky atau seorang perempuan pejuang Palestina seperti Leila Khaled.
Dari masa ke masa kita bisa melihat bagaimana jatuh bangunnya konsolidasi di internal kelompok perjuangan Palestina di dalam PLO, kemudian Fatah dan Hamas dan belakangan kemunculan Jihad Islam. Ada pengkhianatan, korupsi, perpecahan lalu kehendak bersatu kembali untuk melawan, retak kembali, begitu seterusnya, pasang surut terutama karena busuknya operasi pecah-belah intelijen Israel.
Satu hal yang pasti hingga kini, rakyat Palestina terus melawan dengan cara mereka sehebat-hebatnya terutama dalam memperingati 70 tahun Nakba atau peristiwa prahara besar terampasnya tanah Palestina pada 1948 yang melahirkan gelombang pengungsian hampir satu juta warga Palestina.
Seperti kita ketahui, membela Palestina adalah membela kemanusiaan secara universal. Sungguh keliru jika kita menganggap isu Palestina adalah isu di luar pekarangan rumah kita. Sekadar isu negara lain. Para pejuang Palestina sebenarnya mewakili kita dalam melawan penjajah paling nyata, aktif dan bengis di jagat ini.
Saat warga Palestina membela tanahnya dari penjajahan, mereka sebenarnya sedang menjamin adanya perlawanan terhadap penjajahan di kolong langit ini yang boleh jadi pada gilirannya akan mengagresi tanah kita sebab kita membiarkan isu Palestina tanpa pembelaan dan dukungan. Bagaimana misalnya kita bisa terus tanpa hati beretorika tentang solusi dua negara jika sebenarnya kita tahu betapa semakin kurus keringnya wilayah Palestina setelah terampas selama 70 tahun sementara wilayah pendudukan Israel gemuk membengkak hingga mengusik wilayah suci Masjidil Aqsa di Yerusalem.

Seperti Dunia Dalam Berita yang dulu saya saksikan, kita harus terus membuat relevan dan hangat isu Palestina bukan hanya dengan pikiran namun dengan menghadirkan emosi. Kalau kita bisa tidak peduli dengan kezaliman yang nyata dan bengis di Palestina, bagaimana kita bisa peduli dengan kezaliman kecil yang sehari-hari dan sering terbungkus dalih pembangunan.
Peringatan al Quds seharusnya adalah puncak dari gerakan sosial solidaritas terhadap Palestina dan bukan sekadar ritual musiman. Sepanjang tahun dan terutama sepanjang Ramadan kita perlu memperbanyak pendidikan publik melalui diskusi dan sarasehan tentang nasib Palestina melibatkan pelbagai kalangan dan tingkat usia selain upaya menggalang solidaritas Palestina dalam bentuk lainnya seperti kebijakan politik dan ekonomi. Umat yang bersatu merumuskan tujuan bersama dan berjejaring terus-menerus menghimpun daya perlawanan terhadap penindasan adalah gerakan sosial yang menciutkan nyali para penindas.
Isu Palestina harus hangat di dada kaum dewasa dan anak-anak dengan pelbagai cara dan pembelajaran. Sampai kemudian puncaknya tiba kita turun ke jalan bersama keluarga dan handai taulan di setiap Jumat terakhir Ramadan memenuhi seruan pembebasan Al Quds seperti selama 3 dasawarsa ini telah berlangsung di seluruh dunia.
Peringatan Al Quds adalah pendidikan publik momumental untuk menghangatkan perlawanan terhadap penindasan sekaligus sebagai pengejawantahan nilai-nilai dari madrasah Ramadan yang mengajarkan kita pentingnya membebaskan belenggu penindasan manusia jika kita ingin sebenar-benarnya menghampiri dan merasakan ridha Ilahi. Seruan al Quds tidak terbatas hanya kepada umat Muslim namun untuk semua yang merasa “Islam” yakni mereka yang berserah diri kepada Tuhan yang satu dari semua agama.
Kemuliaan dan harga diri warga Palestina yang dinjak-injak dan dihinakan seharusnya menampar kemanusiaan kita sebagai umat yang satu. Riwayat kebiadaban Israel akan menjadi cerita pendek hanya dengan perlawanan. Melalui keterlibatan di Al Quds kita sebenarnya sedang menyusun batu batu sejarah untuk mewujudkan bumi Palestina sebagai satu negara bersama segenap warganya dari semua agama untuk tunduk dalam sistem yang adil, setara, dan sejahtera tanpa penindasan.[]